Jumat, 23 Juli 2010

Cerpen terbaik ke lima pada lomba penulisan cerpen Hardiknas 2010 Universitas Tanjungpura FKIP Untan

[Enter Post Title Here]

“TAK SIA-SIA”

Oleh: Suryadi Abdillah H.

Saat kuterdiam seperti ini. Merenungi semua yang telah terlewati. Tidak ada yang lebih mengesankan batinku, tidak ada yang bisa membuat senyumku mengembang, dan tidak ada yang membuat lidahku sepontan berucap syukur pada-Nya, kecuali bayang perjuanganku menjadi mahasiswa, menjadi orang yang menuntut ilmu di dunia pendidikan yang lebih tinggi seperti saat ini.

Setelah kelulusanku, tidak ada lagi harapan orang tuaku untuk menyekolahkanku di perguruan tinggi. Tidak ada. Bahkan terbesit dalam benak mereka juga kurasa tidak. Yah, maklumlah selain keduanya tidak mengenyam dunia pendidikan di usia muda, keterbatasan biaya juga yang semakin memupuskan harapan, mengikat hati untuk tidak bermimpi yang lebih tinggi.

Sebelum pengumuman kelulusan pun, telah jauh-jauh hari keduanya memberiku sebuah pesan ‘keramat’, yaitu “Setelah lulus nanti kamu langsung kerja ya. Bantu Ayah dan Ibu mengurus kebun sawit. Bila perlu nanti dengan ijazah SMA kamu itu, tentu bisa menjadi modal untuk melamar kerja sebagai mandor di perusahan sawit tempat Ibumu bekerja.” Itulah pesan yang selalu ‘dinyanyikan’ keduanya saat kami bercengkrama.

Aku paham atas sikap mereka yang sepereti itu. Aku bisa memaklumi mereka. Dan tidak ada yang dapat kuperbuat selain mengiyakan dan menganggukkan kepala sebagai bentuk persetujuan dan penghormatanku pada mereka.

Bukan kuputus asa! Bukan! Tidak juga karena aku tak punya harapan dan mimpi seperti orang kebanyakan. Aku hanya sadar akan diri, bemimpi tentu hak setiap orang. Berharap tentu lumrah saja untuk jiwa yang bernyawa. Tapi jati diri ini yang semakin mendukung diri untuk tidak mampu mengelak dari suratan takdir. Diri yang masih belum memenuhi standar hidup layak, membuat siluet gambar mimpi yang baru remang-remang terkoyak. Dan hilang tak membekas.

‘Kejarlah cita-citamu setinggi langit,’ semboyan itulah yang selalu dilontarkan guru untuk menyemangati murid-muridnya untuk mengejar cita-cita, hanya saja teman-teman selalu menambahkan kata-kata, “tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit!” dan jika guru telah selesai menorehkan ilmu di tiap-tiap otak siswanya, kemudian kembali ke kantor untuk sekadar minum air putih sebagai penyegar tenggorokannya yang kering, maka selanjutnya murid-murid akan berteriak, “kejarlah ilmu setinggi langit, tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit”. Kontan saja sekelas gaduh oleh tawa.

Mungkin gurauan itulah yang telah terekam dalam otakku, dan menjadikan aku berpikir ada benarnya juga. Jika aku ingin mengejar cita-cita menjadi seorang pendidik, tapi ekonomi keluarga saja masih di bawah standar hidup layak, bagaimana aku bisa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pastinya bagaimana aku bisa menggapai cita-cita itu! Bukankah itu impian yang terlampau tinggi bagiku? Kalau tidak gila maka akan setres! Ya, bisa saja seperti kebanyakan pejabat yang tidak terpilih akhirnya ‘ngedrop’ kejiwaannya karena bisa saja mimpinya terlampau tinggi untuk ia raih. Tak sesuai dengan potensi diri dan kelayakan diri. Aku tidak ingin merasakan sakit, karena ngotot meraih mimpi yang tak sesuai. Itulah yang membuatku semakin layu dan takluk pada apa saja yang terjadi dan yang dikehendaki.

Setelah pengumuman kelulusan itu, bukan main senangnya hati. Aku lulus! Itu yang membuat aku, orang tuaku, keluargaku, dan teman-temanku bangga kepadaku. Memang aku tergolong pendiam di kelas. Tidak nakal, tidak usil dengan sesama, dan tidak juga suka membolos seperti teman-temanku kala itu. Apalagi melawan guru, seperti kebanyakan temanku dan kini harus menerima karma tak lulus ujian. Tak ada keburukan yang akan kita peroleh kecuali dari tingkah laku kita sendiri. Itulah pesan Ayah kala menasihatiku. Jadi, walaupun standar nilai kelulusan rendah, tinggi, maupun sedang, tapi jika kita tidak menghormati sumber ilmu, tidak akan diridhoi oleh yang empunya ilmu, dan sudah bisa dipastikan kelulusan hanyalah sebuah angan belaka.

Aku memang tak pernah juara. Bukan karena aku bodoh! Melainkan karena aku malas belajar. Tak ada orang bodoh di dunia ini. Semua terlahir dengan kelebihan dan kekurangan. Sungguh mustahil manusia yang derajatnya lebih sempurna dibandingkan dengan mahluk yang tercipta lainya namun ditakdirkan bodoh. Dilahirkan untuk bodoh. Tidak! Kurasa tidak. Mustahil pula kelebihan yang ditakdirkan untuk seseorang itu kebodohan. Kelebihan “bodoh”. Tak logis! Kebanyakan manusia itu malas. Dan itu kurasakan bersemayam dalam diri ini. Aku tak ingin munafik. Aku tak ingin sok, tapi jujur kuakui di bangku SMA aku malas. Malas untuk belajar.

Kesadaran akan potensi diri saat beberapa hari menjelang ujian. Ketekunan belajar meningkat 180. Dan hasilnya aku lulus dengan menduduki peringkat tiga. Yah, setidaknya ada peningkatan. Bukankah manusia yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari harinya yang kemarin!

Acara syukuran pun diselenggarakan di rumahku. Jangan terbayang masakan lezat. Jangan pula terbayang minuman segar seperti es teler, apalagi ala restoran. Wah, sangat berbeda. Mungkin disebut syukuran ala kadarnya.

***

“Bakri! Sapa Ayah pagi itu.

“Suami kakakmu yang sekarang bekerja di perusahaan sawit sebagai asisten kantor, kemarin mengatakan di sana ada lowongan pekerjaan. Nah, daripada kamu menganggur seperti teman-temanmu yang putus sekolah itu, tentu alangkah lebih baik jika kamu ajukan saja lamaran ke sana,” sambung Ayah di sela menghirup kopinya.

“Bakri sih terserah Ayah dan Ibu. Jika meridhoi Bakri bekerja di sana, ya Bakri akan jalani itu.”

“Loh, ya pasti orang tua ridho. Bukankah Ayah dan Ibu jauh-jauh hari sudah mengatakan, kamu harus langsung kerja.”

“Oh ya Ayah, Bakri lupa cerita, kemarin waktu Bakri mengambil ijazah di sekolah, kata kepala sekolah, Pemda Ketapang membuka peluang beasiswa. Ada tiga program, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sama Matematika. Biaya pendaftarannya Rp 300.000. Pesannya sih peluang ini jangan sampai di lewatkan. Dan ada lima teman Bakri yang sudah siap pergi.”

“Beasiswa apa?” tanya Ayah tak mengerti.

“Beasiswa kuliah di Universitas Tanjungpura, Yah! Jika Bakri lulus tes ini, nanti kuliahnya dibiayai pemerintah.”

Pembicaraan pagi itu cukup singkat karena Ayah harus segera pergi bekerja. Sikap Ayah dan Ibu juga tidak berubah, tetap tak mengerti. Ya, mungkin mereka benar-benar tidak punya mimpi untuk anaknya ini.

***

Keesokan harinya, tepatnya hari Minggu, pamanku yang bekerja di perusahaan PT HSL sebagai mandor karyawan pulang ke kampungku. Pamanku Jhoni memang dua minggu sekali pulang. Demikian juga kakakku pulang bersama suaminya. Suaminya bekerja di Perusahaan yang sama dengan paman Jhoni, hanya saja yang membedakanya adalah lokasi tempat bekerjanya. Suami kakakku bekerja di bidang harves it sebagai asistennya. Jadi dua minggu sekali di rumahku selalu ramai, karena semua keluarga berkumpul.

Setiap dua minggu sekali gelak tawa selalu membahana. Paman Jhonilah yang selalu membuat semua tertawa, memang pamanku yang satu ini pandai sekali melucu. Apalagi setelah bertemu paman Sahti semakin seru mereka bercerita lucu-lucu. Yang membuat suasana menjadi ceria.

“Bu apa betul katanya Bakri mau kuliah?”tanya kakakku sambil membantu Ibu di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga.

“Ia, cuma Ibu masih bigung mengenai biayanya, kamu tahu sendiri perekonomian Ibumu ini. Adikmu, Haerul, terkadang pergi ke sekolah saja tidak dikasih uang jajan, bukan karena pelit tapi memang Ibu tidak ada simpanan uang”

“Bagaimana dengan Bakri, Bu?”

“Adikmu bilang dia mau tes saja dulu. Nanti kalau lulus tes beasiswa di Ketapang berarti dia kuliah di Pontianak dan dibiayai pemerintah. Sebenarnya Ayah sama Ibu mau dia bekerja saja, tapi adikmu itu sudah diberi pesan sama kepala sekolah untuk mengikuti tes itu, peluang besar katanya. Ah, entalah Ibu tidak mengerti!”

“Ya sudah nanti saya yang bicara langsung sama dia.”

Setelah mengganti pakaian aku bergegas ke dapur untuk membantu Ibu. Aku lihat Kak Tina juga sudah dari tadi nampak membantu Ibu.

“Bakri bisa bantu apa nih?!” tegurku sambil mendekati Kak Tina yang sedang meracik bumbu.

“Parutkan Ibu kelapa,” jawab Ibuku sambil memberikan kelapa yang sudah siap untuk diparut.

“Bakri, kakak dengar katanya kamu mau kuliah?”tanya kakakku sambil memandangku penuh selidik.

“Bakri memang mau kuliah, pas sekarang ini juga ada tes beasiswa dari Pemda Ketapang. Siapa tahu Bakri lulus tesnya. Selama ini Ayah sama Ibu selalu bilang tidak ada biaya untuk kuliah, jadi Bakri harus langsung kerja. Nah, mungkin ini sebuah jawaban atas keputus-asaan itu!”

“Iya, kakak tahu. Coba sekarang kamu pikir, seandainya kamu lulus tes terus kuliah di Pontianak. Biaya perbulannya saja berapa? Biaya untuk kamu makan di sana berapa, belum masalah lainnya. Seandainya mengirim uang juga lewat siapa? Lewat mana? Pontianak jauh dari sini tentu semua memberatkan Ibu. Kamu tahu sendiri pendapatan Ibu perbulannya. Ayah juga sudah tua, sudah saatnya istirahat dan kamu yang mencari nafkah.”

“Apa kamu yakin akan lulus tes?” tanyanya sinis.

“Insya Allah,” jawabku tegas.

“Bukan kakak bermaksud meremehkanmu, atau meragukan akan niatmu. Tapi, coba kamu pikir berapa dana yang akan kamu butuhkan untuk pergi ke Ketapang hanya sekadar untuk tes beasiswa. Dari sini ke Ketapang itu jauh! Mendaftar saja memakan biaya banyak. Biaya perjalanan kamu berapa? Makan dan menginap di sana berapa? Belum lagi kamu pergi pakai apa? Itupun belum pasti lulus. Bukankah kamu tahu, ayah dan ibu ekonominya susah. Mau dapat uang dari mana? Kakak? Kakak sekarang sudah bersuami, sudah punya anak, jadi biaya hidup kakak sudah dibagi-bagi.”

“Kak, Bakri yakin selama ada keinginan pasti akan ada jalan. Kenapa juga kita harus berpikir negatif? Bakri yakin akan lulus. Mengenai biaya, itu masalah belakang. Toh, Ibu bisa pinjam ke tetangga. Iyakan Bu? ” ungkapku sambil menatap Ibu yang hanya terdiam.

Namun sebelum Ibu menjawab, Kak Tina langsung saja menyambar dengan kata-kata pedasnya.

“Apa? Pinjam uang? Heh, kamu pikir pinjam uang itu gampang! Siapa yang akan mau memberi pinjaman pada keluarga kita? Tak ada yang bisa menjadi jaminan kelak Ibu bisa membayar hutang. Kita semua di sini orang susah. Sudahlah, batalkan niatmu!”

“Ada apa Bakri? Kenapa pagi-pagi begini sudah disidang?” tanya pamanku Jhoni. Entah berapa lama ia mendengarkan perdebatan pagi itu.

“Si Bakri itu mau ikut tes beasiswa di Ketapang. Padahal dia tahu Ibu tidak akan sanggup membiayai semuanya. Dia itu hanya bermodal nekad saja,” kata Kak Tina menimpali.

“Loh! Itu bagus! Kenapa harus dilarang. Berapa biaya pendaftarannya, Bakri?”

“Rp.300.000, Paman,” jawabku singkat.

“Kapan kamu berangkat?”

“Bakri pergi sama teman-teman, mereka juga ikut tes dan pergi hari Selasa. Pendaftaran terakhir hari Kamis, hari Sabtunya tes.”

“Bu, Tina, masalah biaya dan kendaraan Bakri biar saya yang urus. Kalian jangan mengekangnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Saya berani berkata begini karena pernah mengalami yang namanya kuliah. Dan betapa menyesalnya kini karena kuliah waktu itu tidak sampai selesai. Dan kamu Bakri, jangan kecewakan semua. Dari tekad dan niatmu itu buatlah semua menjadi bangga. Kamu yakinkan diri bahwa dalam niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.”

Lega kurasa. Bahagia karena setidaknya ada harapan untuk ikut tes. Hati yang semula tak mampu bermimpi karena lingkungan yang tak berpihak pada diri. Kini, cahaya harapan itu mulai memercikkan setitik harapan.

***

“Huh, ramai sekali pesertanya. Bahasa Indonesia saja sekitar 600 orang, padahal yang dipilih hanya 40 orang,” keluhku pagi itu. Pagi yang cerah sebagai penentu awal kuliah. Akankah? Entahlah! Yang jelas dalam tes ini akan kukerahkan seluruh kemampuan terbaikku.

Bel pun berbunyi. Setiap peserta masuk ke ruangan masing-masing. Peserta tes dari tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika sekitar 900 orang. Padahal dalam tes itu ‘kursi kosong’ untuk beasiswa hanya 120 kursi. Dengan perincian masing-masing mata pelajaran 40 orang. Aku lihat peserta yang di depan, belakang, samping kiri, dan kanan tidak ada yang kukenal sehingga tidak ada peluang untuk bertanya seperti di bangku SMA. “Ah, aku pasti bisa!” teriakku dalam hati meyakinkan diri.

Dengan penuh ketelitian dan pemikiran yang mendalam aku ‘lahap’ setiap butir soal bahasa Indonesia. Meskipun peserta yang begitu banyak dan tentunya pengetahuanku selaku orang desa pasti berbeda dengan mereka yang berasal dari kota, tapi aku tetap yakin dengan potensi diri. Semangat ’45 kukobarkan waktu itu. Hingga tanpa terasa bel yang ketiga kalinya berbunyi. Sebagai peringatan waktu tinggal 10 menit lagi.

“Huh, akhirnya selesai juga,” pikirku.

Bel tanda waktu habis pun berbunyi. Satu demi satu peserta keluar ruangan. Mencari teman masing-masing dan sibuk membahas soal yang baru saja dikerjakan. Jika jawaban yang dipilih mayoritas banyak pemilihnya, hati akan sedikit lega karena setidaknya itulah jawaban yang tepat.

Semua akkhirnya pulang ke tempat masing-masing. Tentu dengan sejuta pengharapan. Begitu juga aku. Tekad dan harapanku terus saja mengalir dalam setiap langkah dan doa. Tiga hari lagi pengumuman kelulusan akan disampaikan. Huh, tidak sabar rasanya.

Pada hari Senin, aku memutuskan untuk pulang kampung, karena persediaan keuanganku sudah semakin menipis. Kebetulan juga ada seorang teman yang ingin pulang. Sambil berpamitan kepada ketiga temanku, Aku memberikan nomor telpon tetanggaku.

“Nanti kalau pengumuman keluar, lihatkan namaku , jika tertera langsung hubungi nomor itu!” pintaku pada seorang teman.

***

Hari ini aku tidak memutuskan untuk pergi. Aku meutuskan untuk tinggal di rumah. Ya, itu aku lakukan karena hari ini adalah hari Rabu. Hari inilah pengumuman kelulusan akan disampaikan Pemda Ketapang.

Sesekali aku menanyakan ke tetangga apakah ada telpon masuk atau tidak yang memberitahukan mengenai pengumuman. “Belum ada,”begitulah jawabnya.

Aku semakin gelisah. Lulus atau tidak. Apa temanku melihatkan atau tidak. Ditengah penantianku telpon berdering. Dengan segera aku menghampiri Pak Ari, nama tetanggaku itu. “Halo ini siapa?” tanya Pak Ari.

Tanpa bisa mendengar suara siapa yang diseberang sana, aku hanya bisa menatap Pak Ari yang masih khusuk menyimak suara yang didengarnya.

“Oh, ini ada. Dia sudah menunggu dari tadi.” Jawab Pak Ari.

‘Serrrrr!’ darahku mengalir deras. Langsung kuambil gagang hanpon yang diberikan Pak Ari.

“Halo, Bakri selamat kamu lulus!” teriak di seberang sana.

“Kamu serius aku lulus! Coba kamu cek sekali lagi! Apa betul itu namaku!” pintaku masih belum yakin.

“Iya, kamu lulus. Tertera secara jelas diurutan nomor 17 atas nama Umar Bakri dengan nomor peserta 302, itu nomor kamukan?”

“Alhamdulillah, ya itu nomorku! Terima kasih atas informasinya,” ucapku seraya mematikan hanpon.

“AKU LULUS!” teriakku dalam tangis haru. Rasa tak percaya segalanya tak sia-sia!

Keluargaku yang semula tidak mendukung akhirnya merespon positiv atas kelulusanku. Acara syukuran pun diselenggarakan lagi. Semua hanyut dalam kebahagiaan. Terutama Ibu dan Ayah, mereka sangat bangga padaku. Ya, aku lulus pada urutan 17 dari 600 pendaftar. Dari lima teman yang sama-sama mengikuti tes ini hanya aku dan seorang teman yang mengikuti tes bahasa Inggrislah yang lulus. Terima kasih keluargaku, terima kasih Ya Allah, mimpi itu ternyata tidak sia-sia. Hore! tidak lama lagi aku akan menyandang gelar mahasiswa. “Aku akan datang untukmu Universitas Tanjungpura! Akan kugali semua ilmu yang kau tanam di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan! Aku datang sebagai Mahasiswa Ikatan Dinas Kabupaten Ketapang! Aku cinta bahasa Indonesia!”***

Tidak ada komentar: