Jumat, 23 Juli 2010

Cerpen Terbaik 2010 (he, he, he, versi penulis sendiri)

[Enter Post Title Here]

SI BEGUL DAN MOTOR BARU

Oleh: Suryadi

P

ada suatu hari Si Begul girang bukan kepalang, apa sebab? Dia “ditimpa durian runtuh” alias “dapat rejeki nomplok”, bagaimana itu terjadi? Dia mendapatkan hadiah motor dari sang Ayah atas kesuksesannya lulus sekolah. Ya, Si Begul baru saja lulus SMA walaupun prestasinya di sekolah sangat buruk. Mungkin itulah yang membuat Ayahnya berinisiatif memberinya hadiah istimewa. Sebuah sepeda motor Thunder keluaran terbaru yang memang selama ini diimpikan Begul.

Otomatis si Begul tersenyum tanpa henti. Ya, dia begitu gembira. Apa lagi motor barunya itu akan menjadi modal awalnya untuk “menggaet” pujaan hatinya, Lela. Gadis cantik yang selama ini dikaguminya, hanya saja tidak ada modal penyokong kepercayaan dirinya. Prestasi rendah dan keuangan juga pasrah. Otomatis kepercayaan dirinya “melempem” alias “layu” alias “lemah”. Akan tetapi kini tentu berbeda.

“Yes!” teriaknya kegirangan.

Sore itu, tatkala matahari mulai condong ke arah barat, Begul pergi menikmati jalan sore tentunya sambil mencoba tunggangan barunya. Semakin lengkaplah kebahagiaan Begul, ia kini tidak lagi jalan kaki menyusuri jalan yang ia lalui sekarang ini seperti hari-hari sebelumnya, ditambah lagi banyak cewek yang sedang joging meliriknya sambil tersenyum. Begul pun hanya tersenyum manis membalasnya. “Yes!’ teriaknya lagi, seolah-olah ia yakin Lela pun akan terpikat padanya seperti para gadis yang tersenyum padanya.

Setelah lama berkeliling menyusuri jalan aspal yang berliku, Begul pun berhenti di sebuah warung kopi yang berseberangan dengan sebuah mini market. Warkop ini merupakan tempat dulu biasa Begul berhenti sepulang sekolah untuk minum es sebagai penghapus dahaga. Akan tetapi kali ini ia tidak memesan teh es seperti biasanya, mungkin karena ia tidak dahaga dan keletihan seperti biasanya.

“Teh hangat segelas, Bang!”

“Tumben!” celetuk pemilik Warkop.

Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas yang berisi teh, pemilik Warkop bertanya pada si Begul,

“Wah, motor baru ya, Gul?”

“Iya, hadiah dari Ayah atas kelulusanku. Ah, tapi dari mana Abang tahu itu motor baru?” tanya Begul sambil tersenyum girang.

“Loh, motor baru yang pasti masih kinclong dan lihat, platnya saja masih berwarna merah begitu, KB 512 XX he, he, he!”

Begul hanya tersenyum mendengar jawaban pemilik warkop itu.

“Begul, hati-hati sekarang ini banyak curanmor!”

“Curanmor itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.

“Pencurian sepeda motor. Ah, kamu ini lulus SMA tapi curanmor saja tidak tahu.”

“O, pencurian sepeda motor!” ungkap Begul mengulangi seolah-olah lupa dengan sindiran Bang Warkop.

“Beberapa hari yang lalu di depan mini market itu ada yang kehilangan sepeda motor. Padahal baru ditinggal berbelanja sebentar sama yang punya dan motor itu dalam kondisi telah dikunci stang.”

“Lihat saja poster yang dipajang polisi itu! Ya, walaupun himbauan itu terpasang setelah semua terjadi tapi apa salahnya mengingatkan agar tidak terulang lagi,” sambung Bang Warkop.

Begul kemudian membaca poster yang dimaksud Bang Warkop tadi.

“PARKIRLAH KENDARAAN ANDA DI TEMPAT YANG AMAN DAN GUNAKAN KUNCI GANDA.”

“Kunci ganda itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.

“Kunci ganda itu maksudnya kunci tambahan selain kunci kontak atau kunci stang. Misalnya diberi alarm atau ada letak kunci rahasianya. Yang jelas harus lebih dari satu kunci.”

“O,” kata Begul sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Sasarannya selalu motor yang bagus, Gul!”

“Wah, berarti motorku terancam. Wah, gawat!” pikir Begul.

***

Sesampainya di rumah, Begul langsung memasukkan motornya ke dalam rumah. Ia tidak mau jadi bagian dari kisah korban curanmor. Ia teringat pesan Bang Warkop dan poster yang berisikan pesan polisi tadi sore itu.

Ia kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Di kamarnya yang sempit itu, ia berpikir keras mencari akal agar motornya aman dari tindakan kriminal tak bertanggung jawab para curanmor.

“Hemm, bagaimana kalau diberi alarm saja,” pikirnya.

“Ah, tapi pasti perlu dana banyak.”

“Huhh!” keluhnya.

“Minta uang pada Ayah, tidak mungkin. Syukur-syukur sudah dibelikan motor.” Gerutunya dalam hati.

Lama Begul berpikir di dalam kamarnya. Lama ia memaksakan IQ-nya yang rendah untuk mengeluarkan energi sebagai pemberi cahaya pada lampu idenya. Lama ia memaksakan itu. Mungkin ia lupa bahwa pemerintah akan menaikkan tarif dasar listrik atau TDL. Namun tidaklah sia-sia, karena lampu idenya memberikan solusi juga.

“Ahaaa!” teriak Begul penuh kemenangan karena merasa idenya cukup cemerlang.

Malam itu juga Begul melancarkan aksi untuk mewujudkan ide cemerlangnya. Ia keluarkan motor yang telah ia “kandangkan” di dalam rumah.

“Mau kemana, Gul?”

“Mau ke tempat Datuk Marijan, Yah!”

“Hei, ada perlu apa kau ke sana malam-malam begini?”

Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban dari Si Begul karena ia dan motor barunya telah melesat jauh dalam kegelapan, kini hanya terlihat nyala merah lampu belakangnya saja dan mulai hilang ditikungan jalan.

***

Ruangan itu cukup gelap, berukuran 3x3 m2. Ada meja persegi panjang yang dihiasi taplak meja dari kain hitam. Hanya remang-remang cahaya lilin saja sebagai penerangnya. Seketika baru memasuki ruangan, semerbak bau kemenyan akan menyerang hidung, cukup menyengat. Ada tanah liat yang berbentuk mangkuk kecil yang berisi bara api, di sanalah kemenyan-kemenyan itu dibakar. Ada keris berdiri tegak di antara asbak kemenyan dan mangkuk yang berisi air. Di ujung meja ada mangkuk besar yang berisi bunga tujuh rupa. Sosok tua yang memiliki kumis lebat dan berpakaian serba hitam tengah duduk bersila di hadapan Begul yang dibatasi meja. Dialah Datuk Marijan si dukun sakti yang berasal dari Kabupaten Ketapang itu.

“Begini Tuk, e...e...mak...sud....”

“Saya sudah tahu maksud kedatanganmu anak muda,” kata Datuk Marijan memotong pembicaraan Begul.

“Tidak salah lagi,” pikir Begul. Orang yang ia tuju benar-benar hebat. Buktinya sebelum Begul menceritakan maksud kedatangannya saja, dukun itu telah mengetahuinya. Kali ini juga Begul membuktikan sendiri kehebatannya karena selama ini ia hanya mendengar cerita dari teman-temannya di sekolah saja tentang dukun sakti itu.

“Berapa lama kamu memiliki motor itu?”

“E...e...belum ge...nap seha...ri, Tuk,” jawab Begul terbata-bata.

“Jadi, kamu mau saya apakan motormu itu?”

“Ah, tadi katanya sudah tahu, gimana sih nih dukun?!” gerutu Begul dalam hati.

“E...e...begi...ni Datuk, saya mau motor saya jangan terlihat menarik atau kelihatan bagus di mata orang kecuali oleh keluarga saya.

“Ha, ha, ha, perkara mudah itu!” kata dukun menyombongkan diri sambil mengelus-elus kumis hitamnya. Ia lalu memejamkan mata, mulutnya mulai komat-kamit membaca mantra sambil menaburi kemenyan di atas bara dalam mangkuk tanah liat di hadapannya.

Angin mulai berhembus tak beraturan. Membuat bulu kuduk Begul berdiri, ia menggigil karena merinding tapi ia hanya diam menatap ulah dukun di hadapannya. Air dalam mangkuk juga mulai bergoyang-goyang menciptakan riak-riak kecil.

Datuk Marijan lalu menaburkan bunga tujuh rupa ke dalam mangkuk itu. Kemudian mulutnya kembali komat-kamit membaca mantra. Sekitar lima menit kemudian...,

“Buurrrrrr!” bunyi semburan Datuk Marijan ke arah mangkuk sambil diikuti gerakan kedua telapak tangannya seolah memberikan tenaga megis ke dalam mangkuk yang berisi air dan kembang tujuh rupa itu.

Air itu lalu ia masukkan ke dalam botol bekas air mineral, tidak lupa sambil komat-kamit tentunya.

Lalu botol itu ia serahkan pada Begul. Seraya memberikan resep,

“Besok pagi, sebelum matahari terlihat atau menyembul dari arah timur kamu harus memandikan motormu menggunakan air itu.”

“Baik, Datuk.”

“Jika kamu telat, akibatnya akan fatal,” ancam dukun.

“Baik, Datuk.”

Seusai registrasi, Begul langsung pulang ke rumahnya. Tentu kali ini senyumnya semakin merekah penuh kebanggaan karena ide cemerlangnya berhasil ia wujudkan.

***

“Kukuruyuuukkk,” teriak ayam jago membangunkan Begul dari buaian mimpinya. Ia mencoba membuka jendela kamarnya untuk memastikan apakah matahari telah menyembul atau belum. Menyadari hari telah mulai pagi Begul bergegas mengambil botol yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tadi malam.

Dengan langkah penuh kemenangan Begul menghampiri motor barunya.

“Aduuuh, bagaimana cara mencucinya?” pikir Begul.

“Apakah air ini dicampurkan ke dalam ember yang berisi air atau sekadar dilapkan saja?” gerutunya.

Akhirnya Begul hanya memerciki motornya dengan air mineral dari Datuk Marijan. Setelah selesai prosesi ritualnya, ia kemudian menjemur motornya, sambil menanti munculnya sang surya.

“E...e...rajinnya anak Ayah, pagi-pagi sudah memandikan motor, tapi jangan lupa mandikan juga orangnya,” celetuk Ayah Begul sepulang dari masjid dekat rumahnya.

Begul hanya tersenyum manis membalas pujian sang Ayah.

***

Sore harinya Begul memulai aksinya lagi berkeliling menggunakan motor barunya. Satu, dua, tiga, cewek yang sedang joging ia lalui namun kali ini berbeda dari harinya kemarin. Gadis-gadis itu hanya menantap Begul keheranan. Ada juga yang melihatnya tersenyum, hanya saja senyum memperolok. Mungkin mereka berpikir tak sesuai dengan dandanan si pemakai yang berpakaian rapi, minyak rambut yang begitu mengkilap, dan sepatu. Tentu hal ini mengecewakan hati Begul. Ada apa dengan dirinya? Mengapa belum genap dua hari ia memiliki motor baru, para gadis-gadis yang semula senyum padanya kini berubah. Ada apa ini? Tanya itu terus berkecamuk dalam benak Begul, sampai akhirnya ia berhenti di tempat kemarin, warung kopi.

Bang Warkop juga menatap Begul keheranan. Begul pun semakin bertanya-tanya ada apa sebenarnya ini? Belum sempat ia memesan minuman dan mempertanyakan keheranannya ia telah dikejutkan oleh suara Bang Warkop.

“Motor siapa yang kau pakai, Gul?”

“Motor saya ‘lah, Bang!”

“Eh, Motor baru yang kemarin kemana?”

Begul mengerutkan keningnya karena semakin bingung dengan semua itu. Bukankah motor yang ia kenakan adalah motornya yang kemarin? Ah, ada apa ini?

“Kau jual atau tukar tambah, Gul?”

Begul semakin tak mengerti dan diam membisu.

“Hanya karena takut curanmor motor barumu kau jual? Sayanglah, Gul, Gul!?”

Begul hari itu tidak jadi memasan minuman, ia langsung bergegas pulang ke rumahnya membawa sejuta tanya. Akan tetapi dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Lela pujaan hatinya. Tentu ia langsung memasang gaya sambil menghampiri gadis yang sedang joging itu.

“Hai, Lela,” sapa Begul memulai aksinya dari atas motor.

“Ikut Abang yok!”

Namun Lela tidak mengubris ajakan Begul ia tetap berlari kecil tanpa menoleh sedikit pun.

“Ayolah Lela, sambil mencoba motor baru Abang!” rayu Begul.

“Huh, motor jelek begitu! Nggak level!” kata Lela.

“Ini motor baru kok, lihat saja masih kinclong, dan platnya saja masih berwarna merah! Motor ini baru dibelikan kemarin sama Ayah.”

“Matamu buta, Ya!” olok Lela.

Uh, betapa sakit dan pilunya hati Begul. Ia tidak habis pikir gadis pujaan hatinya pun memperoloknya. Gagal sudah harpannya, pupus bersama kebingungannya. Kini yang tersisa hanyalah gejolak tanya, ada apa sebenarnya? Mengapa mereka semua memperolok motor barunya? Begul tetap tak menemukan jawaban atas tanya itu. Mungkin IQ-nya yang rendah tak mampu menuntunnya pada sebuah jawaban yang jelas. Mungkin juga otaknya tak secemerlang saat ia menemukan ide untuk membuat motornya aman dari tindakan tak bertanggung jawab para curanmor. “Jika membeli kunci ganda aku tak mampu, ah, aku minta bantuan Datuk Marijan saja. Aku minta ajian supaya motorku tak terlihat menarik dihadapan orang-orang yang berniat jahat mencuri motorku. Bukankah Datuk Marijan terkenal sakti.”

***

Kini Begul terbaring pilu di dalam kamarnya yang sempit. Harapannya pada motor barunya sebagai sarana memikat hati Lela gagal sudah. Ia tatap lekat-lekat flapon rumahnya walau pun pandangannya kosong tak bermakna. Sepertinya ia telah putus asa untuk memaksakan IQ-nya yang rendah untuk ‘membedah’ segala tanya yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Apa lagi masalah Si Begul kalau bukan mengenai motor barunya yang kini tidak bermutu di hadapan orang-orang.

“Ah, tapi mengapa kata Ayah motorku tetap bagus dan tidak berubah sedikit pun.”

“Ah, Ibu juga mengatakan motorku semakin terlihat kinclong, semenjak aku pulang dari rumah Datuk Marijan.”

“Ah, jadi mengapa orang-orang mengatakan motorku jelek? Apa alasan mereka? Keluargaku atau mereka yang salah lihat?”

“Ah, pusing!” pikir Begul.

Bagul kemudian berhenti sejenak dari kegiatan “peneletian” penyebab dalam tanya yang ‘meracuni’ hati dan pikirannya. Ia menerawang lagi langit-langit kamarnya. Berpindah dari satu objek pandangan ke objek yang lain. Selesai memandang kedua cicak yang sedang bermesraan di flapon kamarnya yang sempit ia beralih ke pentilasi, lalu jendela, kemudian berpindah pada meja belajarnya yang dihiasi tumpukan buku.

“Huhh”, hembus napasnya berat.

Ia lalu menatap lemari usang yang berdiri tegap di hadapannya. Ia pandangi guratan-guratan tua di wajah pintunya. Ya, lemari itu terlihat kusam. Warna catnya saja sudah memudar. Ia pandangi dari bawah sampai ke atas lemari itu. Sampai akhirnya ia berhenti dan berfokus pada satu objek benda. Benda itu “terduduk” indah di atas lemari itu. Bentuknya lonjong dan memiliki guratan-guratan namun bukanlah guratan tanda penuaan. Ada label melingkar di pucuk benda itu, mungkin itu adalah “pakaiannya” karena hanya itulah penutup tubuhnya. Lama Begul tertegun menatap benda itu. Sampai akhirnya ia tersenyum sendiri. Matanya berbianar-binar bercahaya seolah-olah ia menemukan intan permata yang lama terpendam di dasar bumi.

“Ahaaa,” teriaknya kegirangan.

“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang!” gumam Begul sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ia lalu bangkit dari pembaringannya. Ia gapai benda yang mampu mengantarkan IQ-nya yang rendah itu pada sebuah jawaban yang jelas dan tepat. Ia pandangi dan genggam dengan erat.

“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang, kamulah penyebabnya!” geram Begul.

“Akan kubakar kau! Kaulah pembawa sialku!”

“Botol jahanam!” teriak begul sambil memabanting botol air mineral yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tempo hari.

“Ah, haruskah aku membakarnya? Mempersalahkannya? Apa botol ini memang benar-benar bersalah dan pantas dipersalahkan?”

“Ah! Datuk sialan itulah yang salah! Dia yang telah memberiku ramuan dalam botol ini!”

“Ya, sialan dukun itu! Dialah penyebab semua ini! Akan kubakar rumah perdukunannya!” geram Begul sambil meremas botol yang ia gegam kembali.

“Ah, pantaskah itu kulakukan? Apakah dia benar-benar penyebab semua ini? Apakah Datuk Marijan pantas dipersalahkan?”

“Bukan!” teriak batinnya.

“Ya! Dia tidak pantas dipersalahkan! Lalu siapa yang bersalah?”

Begul kemudian merebahkan badannya kembali, “Lalu siapa yang bersalah?” tanya Begul lagi pada dirinya.

“Aku!”

“Ya, akulah yang bersalah! Akulah yang meminta Datuk Marijan memberiku ramuan agar motorku aman dari tindakan jahanam para curanmor!”

“Ah, tapi itu aku lakukan karena bajingan curanmor yang selalu meresahkan masyarakat! Bajingan! Sampah masyarakat mereka! Kalau bukan karena mereka tidak mungkin aku sebodoh ini? Sampai meminta ajian pada Datuk Marijan! Ya, merekalah yang pantas dipersalahkan dan diberantas! Musnahkan saja mereka, agar tidak ada yang harus bersusah payah mencari akal untuk mengamankan kendaraan mereka! Jika para curanmor musnah, pemilik kendaraan bermotor tentu akan tenang dan tidak resah!”

“Lalu siapakah yang dapat memusnahkan mereka? Polisi? Ah, yang kutahu polisi hanya memajang poster saja! Aku? Apa dayaku? Mungkinkah Masyarakat? Lalu dengan cara apa? Apa masyarakat ramai-ramai datang pada Datuk Marijan meminta ajian keselamatan? Ah, itu sama saja dengan pembodohan masal! Ah, ke kantor polisi saja! Tuntut kinerja polisi untuk maksimal memberantas pelaku bejat para curanmor itu! Mungkinkah itu akhirnya akan berhasil mengantarkan kata “aman” dan “ketenangan” di hati masyarakat? Ah, atau Pencipta mereka saja, tentu akan lebih bijak mengatasi semua ini!?” Celoteh Begul sambil tersenyum sendiri dalam kamarnya yang sempit.

“Ah, aku berdoa saja pada Pencipta mereka, agar mereka para curanmor disadarkan dan kembali pada fitrah kemanusiaan dan aku berdoa agar Datuk Marijan tidak mengamalkan ilmu kesesatan! Yang terpenting aku harus berdoa untuk keselamatan jiwaku, keluargaku, dan tentunya kesalamatan motor baruku. Kurasa itu adalah solusi yang tepat untukku lakukan! Segala sesuatu yang kumiliki saat ini hanyalah titipan dari-Nya. Harta tidaklah abadi dan kubawa mati. Aku lahir tidak membawa apa-apa, tentu aku kembali tidak membawa apa-apa pula kecuali tiga perkara ilmu yang bermanfaat, amal jariah, dan doa anak yang soleh. Setidaknya itulah pesan guru agamaku diwaktu SMA! Motor baruku suatu saat akan musnah karena dia tidaklah kekal.”

Begitulah kisah Begul dan motor barunya. Akhirnya Begul tersadarkan bahwa segala sesuatu harus diserahkan dan dipasrahkan kepada Sang Pencipta karena itu jauh lebih aman dan menenangkan. Namun satu pesan Begul, “Jangan hanya berdoa tapi berusahalah, asalkan jangan berusaha mendatangi orang-orang seperti Datuk Marijan karena itu hanya perbuatan yang sia-sia, kesyirikan, dan kebodohan yang nyata.” ***

Tidak ada komentar: