Selasa, 01 Januari 2013

Mengisi Liburan "Cerita 2"


Mengisi Liburan


Cerita berikutnya:

Esok Hari
Liburan Arifin ke Kota Ale-Ale sebenarnya dibarengi dengan niat untuk memperbaiki akta kelahirannya yang salah dan sekaligus akan membuat KTP karena ia merasa telah cukup umur untuk memiliki kartu tersebut. Dia meminta bantuan saya untuk menguruskan niatnya itu. Akan tetapi, permintaannya tersebut tentu tak dapat kuwujudkan karena hari ini Minggu, 23 Desember 2012 tentu kantor Catatan Sipil Ketapang tutup. Tentu saya tak mungkin menunda lagi waktu menuju kota tujuan, yaitu Pontianak. Paling tidak kantor tersebut buka pada hari Rabu, 26 Desember 2012 karena Senin dan Selasa tentu libur cuti bersama natal. Jadi, Arifin saya titipkan dengan Pak Sayidin, saya serahkan sepenuhnya untuk membantu urusan Arifin di Ketapang.
            Minggu pagi, pukul 06.00 WIB saya berangkat dari Ketapang menuju Teluk Batang. Niat sebelumnya dan memang kebiasaan sebelumnya dari Ketapang selalu berangkat siang karena setahu saya waktu itu kapal hanya berangkat sore hari. Namun, kali ini saya pergi pagi karena dapat informasi dari Pak Sayidin bahwa ada kapal yang berangkat pagi. Beliau tahu tentang itu karena pengalamannya dulu saat harus ke Pontianak untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam di STAIN Pontianak. Hal itulah yang menjadikan saya berangkat pagi menuju penyeberangan. Lagi-lagi kepergian kali ini tak sendiri. Arif (bukan Arifin) sepupu calotri (calon istri) ingin ikut berlibur ke Ponti. Kebersamaan kali ini berbeda dengan kebersamaan sebelumnya, yaitu pergi dengan Arifin dan kini dengan Arif. Selain itu, sebelumnya masing-masng menggunakan kendaraan, namun kali ini Arif duduk manis di boncengan belakang si merah.
“Jangan bawa anakku ngebut ya Mas Sur!” Pinta Ibunda Arif saat menitipkan anaknya.
“Insyaallah,” jawabku menguatkan.
            Dalam perjalanan menuju Melano kecepatan si merah maksimal 80-85 km/jam. Saya tak berani memacu motor lebih dari itu dikarenakan terngiang amanah ibunda Arif untuk tidak membawa anaknya ngebut. Sekitar setengah jam perjalanan Arif berkomentar sinis. “Ah, pakai motor baru, Vixion pula, tapi hanya kecepatan 80, ini sih kalah-kalah Si Medy, bahkan Bapakku lebih laju dari ini!” mendengar komentarnya bara moto-gp kumenyala. Kuacungkan jempol sebagai persetujuan atas celetukannya. Kali ini, kuturunkan gigi motor satu kali dengan sedikit menahan kopling kemudian menarik kuat gas motor. Motorpun melesat di atas 100 km/jam. Akan tetapi, amanah terus mengiang di telingaku. Jadi, kecepatan maksimal vixion saat itu hanya mencapai angka 110 km/jam, aku tak berani lebih. Selain alasan itu, peluang untuk lebih laju juga terhambat oleh medan jalan yang tak mendukung untuk kecepatan di atas itu.  
            Perjalanan pun terasa cepat, yang ditandai kami telah melewati hamparan durian di Sukadana. Setelah itu, melewati Pulau Datuk. Pagi itu jalanan tak terlalu ramai sehingga memacu kendaraan dalam kecepatan 100 km/jam pun tak terlalu beresiko. Akan tetapi, aku selalu mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang ada. Contohnya saat melihat dan membaca (kompetensi membaca cepat) plang yang ada di sisi jalan “kurangi kecepatan sering terjadi kecelakaan” atau “hati-hati tikungan tajam sering terjadi kecelakaan” maka dengan sigap gas motor kukendurkan dan kaki menginjak rem perlahan. Slogan peringatan itu benar adanya karena pagi itu aku dan Arif membuktikannya. Setelah daerah Pulau Datuk terdapat tikungan tajam ke kanan, beberapa meter sebelum tikungan itu telah terdapat lampu kuning yang terus berkedip disertai plang peringatan tikungan tajam. Di ujung tikungan tajam tersebut beberapa motor berhenti dan parkir di sisi luar jalan. Aku pun ikut berhenti. Ternyata ada yang mengalami kecelakaan di tikungan itu. Seorang ibu-ibu yang membonceng nenek (mungkin ibunya/ibu mertuanya) mengendarai motor sekuter Spacy yang tercebur ke dalam parit (slokan). Motor beserta orangnya berenang di dalam parit tersebut. Untungya bulan Desember ini musim hujan sehingga parit tempat motor itu terjerembab terisi air. Jadi, tak terlalu fatal akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan itu. Hanya sedikit goresan di dagu si pengendara. Sedangkan nenek tersebut tidak terlihat terluka hanya pakaian dan jilbabnya kotor terkena lumpur parit yang keruh. Aku dan orang-orang yang berhenti akhirnya memberikan pertolongan mengangkat motor dari dalam parit yang memiliki kedalaman sekitar dua meter. Arif, hanya menonton saja peristiwa itu tanpa tergerak untuk membantu. Entahlah, apa yang terlitas di benaknya saat itu. Setelah pertolongan sukses dilakukan, perjalanan pun dilanjutkan.
            Sesampainya kami di Melano aku arahkan motor menuju Sui Mata-Mata. Tujuanku ke daerah itu menemui Bibi dan Pamanku yang trasmigrasi di daerah itu. Aku berkunjung ke tempatnya untuk mengantarkan bibit kacang tanah yang jauh-jauh hari dipesannya. Selesai dengan misi itu, perjalanan pun lanjut ke Teluk Batang. Dari Melano-Teluk Batang ditempuh dalam waktu 30 menit saja. Alhamdulillah, ada kapal yang telah siap berangkat.
“Berapa tiket, Bang?” tanyaku pada penjual tiket.
“Rp.180.000,”
Harga tersebut jika dirincikan sebagai berikut @Rp.60.000 X 3 (Aku, Arif, dan Si Merah).
“Berangkat pukul berapa, Bang?”
“Pukul 10.00 WIB”
Setelah menentukan tempat barang-barang kami bergegas membeli makan, cemilan, dan minuman untuk di perjalanan (dalam kapal). Kulihat si merah pun telah dinaikkan ke atas kapal. Pukul 10.05 terdengar deru mesin kapal. Kapal pun berlayar menyusuri sungai menuju dermaga Rasau Jaya. Biasanya waktu tempuh kelotok 10-12 jam. Jadi, perkiraan pukul 20.00-22.00 WIB kami telah merapat di tempat tujuan.
Kelotok baru berenang 30 menit hujan lebat telah mengguyur. Jendela-jendela pun segera ditutup. Keadaan dalam kelotok gelap dan pengap. Gelap teratasi karena nahkoda segera menghidupkan lampu. Sedangkan pengap tak mampu ditepis karena banyak perokok yang tak perduli. Saat situasi tertutup seperti itu justru perokok aktif ramai menyulut rokoknya padahal banyak anak-anak di sekitarnya. Kepekaan yang memudar. Mengetahui lampu hidup, Arif segera mengecas BB-nya. Maklum banyak kawan yang sedang oll (online) jadi energi BB harus di isi agar internetan lebih lama dan lancar.
“Rif, kelotok ini ramai. Jadi, naruh HP saat dicas jangan gegabah. Terus dipantau jagan sampai lengah.” Pesanku pada Arif yang datang ke sebelahku setelah menaruh HP-nya di atas salon dan kabel cas yang telah tertusuk pada tempatnya. Sepuluh menit berlalu, hujan masih turun dengan lebatnya, Arif meninjau kembali HP-nya.
“Aduh! Mas sini!” teriaknya sambil melambaikan tangan.
Aku tak terlalu menghiraukannya dikarenakan saat itu kapal mulai merapat di sebuah dermaga (aku tak tahu namanya) dan aku terfokus melihat warung-warung makanan yang berjejer rapi dari celah jendela.
“Mas!” teriaknya lebih keras.
“HP-ku nda ada!” sambungnya setalah melihatku menatapnya.
“Tinggal casnya saja ni!”
Kondisi saat itu penumpang ramai yang turun menerobos hujan untuk membeli makanan.  Aku menghawatirkan dua hal, pertama HP yang dalam keadaan dicas tersebut diambil seseorang saat turun membeli makan dan kedua kemungkinan HP itu jatuh ke lambung kapal.
“Jadi gimana, Mas?”
“Kita bongkar papan ini satu persatu!”
“Duh, berarti tercebur ke dalam airlah HPku, Mas.”
Kulihat raut muka Arif yang dilema.
Satu persatu papan kapal kami bongkar. Dengan pencahayaan HP-ku akhirnya terlihat BB yang kini dalam kondisi menyelam di lambung kapal yang tergenang air.
“Ya, itu mas lihat BB-mu. Dah, segera turun dan ambil!”
“Mana?”
“Itu!” kurahkan telunjukku.
Setelah BB ditangan, kembali kami tutup papan yang telah kami bongkar sebelumnya.
“Udah, jangan dihidupkan dulu, nanti kita servis di Pontianak saja!”
Perjalanan berlanjut dan kami tiba di Dermaga Rasau Jaya pukul 20.15 WIB. Alhamdulillah . . .si merah pun turun terdepan sehingga kami memacu kembali motor lebih dulu dari penumpang lainnya. Lanjuuuut (gaya Ariel NOAH) ke Pontianak kota tujuan terakhir kami.
                                                                                                         Bersambung . . .
Cerita Berikutnya:
“Di Pontianak” dan “Pulang”

Tulisan di Awal 2013 "LIBURAN SEKOLAH"


Mengisi Liburan

Liburan telah tiba. Masing-masing orang telah mempersiapkan diri untuk berlibur. Rencana demi rencana pun telah tertulis di memo liburan. Termasuk aku. Setelah disibukkan mengajar anak didik di SMA Negeri 1 Manis Mata selama semester ganjil yang usai setelah ditandai bagi rapot tanggal 22 Desember 2012.
Liburan kali ini, saya memilih berkunjung ke Pontianak. Selain berniat mendeteksi (hahaha seperti misteri saja) keberadaan calon istri yang telah lama tak terlihat di depan mata, liburan kali ini bertujuan untuk menjejaki sisa-sisa langkah dulu saat menjadi mahasiswa di Untan. Selain itu, motor baruku perlu perjalanan jauh, bahasa kerennya Rayen, hahaha (semoga tulisannnya tidak salah!).
Nah, berbicara tentang kendaraan baru (si Vixion Merah) sengaja di bawa ke Ponti untuk dipercantik di sana. Maklum, daerah tempatku ini salon untuk motor belum terlalu mantap.hehehe. Rencana untuk si merah adalah dipercantik dengan riben dan sebeng pelindung mesin. Kenapa mesti melindungi mesin? Lagi-lagi alasannya adalah zona tempat tinggal yang masih beraspal merah. Jadi, saat musim hujan seperti saat ini (Desember-Januari) aspal merah akan melekat di bodi kendaraan, terutama mesin. Oleh karena itu, liburan kali ini si merah harus diberi sebeng agar lebih cantik dan bodi mesinnya terlindungi.
Untuk liburan kali ini tidak membutuhkan banyak biaya. Hal itu dikarenakan tempat liburan yang masih dalam satu pulau dan terjangkau cukup menggunakan kendaraan pribadi seperti si merah ini.   
Segala persiapan liburan telah dipersiapakan. Pakaian, Peralatan, dan tentu saja anggaran. Aku berangkat dari rumah hari Sabtu 22 Desember 2012. Rencana semula berangkat pukul 06.00 dengan pertimbangan agar sampai penyeberangan (Teluk Batang) sore hari. Maklum, waktu tempuh dari Kec.Air Upas ke Kota Ketapang saja paling cepat 4 jam. Setelah itu, dilanjutkan perjalanan ke Melano 1-2 jam, dan lanjut lagi ke Teluk Batang dengan waktu tempuh 30 menit sampai 1 jam. Kenapa mesti ke Teluk Batang? ya, karena di sinilah penyeberangan menuju Rasau Jaya. Itulah yang menjadi pertimbangan untuk berangkat pukul 06.00 WIB agar sampai di penyeberangan tepat waktu dan tentunya tak ketinggalan kapal (klotok atau very).
 Manusia bisa berencana Allah yang menentukan. Saat bersiap pergi, ternyata langit menangis. Hujan turun dengan derasnya. Sempat berniat menerobos hujan menggunakan mantel. Akan tetapi, sirine peringatan dari Mba Tina dan Ibunda tercinta membuat niat itu terhenti. "Tunggu sampai reda! jangan nekad, ini hujan lebat!"
begitula kira-kira bunyi gaungnya. Alhasil, hujan berhenti dari derasnya pukul 10.00 WIB dan kini masih sisa rintikan halus, yang disebut gerimis. Tak kuat harus menunggu lebih lama lagi, gerimis kali ini tak menyurutkan langkah. Aku nekad menerobosnya! Sirine peringatan juga tak berbunyi saat aku salaman untuk pamit pergi.
Aku pergi tak sendiri. Tetanggaku yang kebetulan juga muridku, ingin ikut liburan ke Ketapang. Jadi, tekad menerobos gerimis ini tak sendiri. Kami menggunakan kendaraan masing-masing. Aku menggunakan Yamaha Vixion sedangkan Arifin menggunakan Honda Beatnya. Akan tetapi, keikutsertaannya justru menambah lama perjalananku. Waktu tempuh yang semestinya 3-4 jam saja, molor menjadi 6 jam dikarenakan Arifin sangat lambat mengendarai motornya. Jadi, sampai di Kota Ale-Ale (Ketapang) pukul 16.00. Hal itu tentu merusak semua rencana yang semula, yaitu pukul 16.00 sudah sampai di penyeberangan Teluk Batang. Setelah dipertimbangkan dan dihitung-hitung waktu tempuhya, kuputuskan untuk beristirahat dulu di Ketapang karena tak mungkin terkejar kapal-kapal yang akan menyebrangkanku ke Rasau Jaya.

Penginapan

Ketapang- Rapat kecil dengan Arifin menentukan tempat menginap pun segera dilakukan. Mengingat waktu terus berlalu dan mentari kian condong ke arah barat.
“Kita ke hotel yang murah aja, Pak.” Sarannya.
“Ya, boleh saja. Yang saya tahu tempat menginap yang murah ya di Hotel Murni.”
“Berapa Pak semalamnya?”
“Bergantung pilihannya, Fin. Ada yang 40.000 sampai ratusan ribu. Yang paling murah 40.000.”
“Wah, itu sih masih mahal, Pak! Tidak ada yang lebih murah?”
Berpikir sejenak mencari solusi.
“Ya sudah. Kita nginap tempat Pak Sayidin saja. Nginap geratis, masalah makan kita bisa beli di warung makan terdekat!”
“OK! Mantap, Pak!”
“Sebelum ke sana kita cuci motor dulu. Tak enak mengotori rumah orang dengan aspal merah yang melekat di motor ini!”
Arifin memilih tempat mencuci motornya di pencucian yang pertama ditemuinya. Masih di daerah Tuan-Tuan (Tempat kediaman Pak Sayidin). Sekilas tentang Pak Sayidin, dia adalah salah satu guru agama islam di SMA Negeri 1 Manis Mata yang merangkap Wakil Kepsek serta Waka Kurikulum. Sedangkan saya, memilih mencari tempat pencucian motor yang lain karena dengan pertimbangan tak harus antri. Benar saja, di salah satu pencucian motor tak perlu antri karena memang sedang tak ramai. Saat pencucian motor selesai tak jua kulihat Arifin berlalu. Hal itu menandakan dia masih belum selesai mencuci motornya. Dengan sedikit kesal, karena lagi-lagi Arifin memperlambat waktu saya menyusuri kembali jalanan untuk menemuinya di tempat sebelumnya. Benar saja, dia belum selsai mencuci motornya.
“Kenapa lama, Fin!”
“Ah, tukang cuci motornya ini belum lihai. Berkali-kali saya tegur karena kurang bersih mencucinya. Masih bagus dan bersihan saya yang amatir, Pak!” Gerutu Arifn.
Celotehan Arifin benar adanya. Hal itu saya buktikan karena melihat sendiri bagaimana tikah si pencuci motor itu. Akhirnya, derita terulur waktu sampai menjelang azan magrib saya dan Arifin bergegas ke kediaman Pak Sayidin. Kami disambut hangat. Dipersilakan masuk dan disediakan minuman hangat, kopi. Karena saya tak minum kopi, gelas Arifin yang telah berkurang kuisi kembali dengan kopiku. Jadi, kopi terlihat diminum meski tak diminum.hahaha.
                                                                                                                        Bersambung. . .


Cerita berikutnya:
“Esok Hari”, “Di Pontianak”, dan “Pulang”