Mengisi Liburan
Cerita berikutnya:
Esok Hari
Liburan Arifin ke Kota Ale-Ale sebenarnya dibarengi dengan niat
untuk memperbaiki akta kelahirannya yang salah dan sekaligus akan membuat KTP
karena ia merasa telah cukup umur untuk memiliki kartu tersebut. Dia meminta
bantuan saya untuk menguruskan niatnya itu. Akan tetapi, permintaannya tersebut
tentu tak dapat kuwujudkan karena hari ini Minggu, 23 Desember 2012 tentu
kantor Catatan Sipil Ketapang tutup. Tentu saya tak mungkin menunda lagi waktu
menuju kota tujuan, yaitu Pontianak. Paling tidak kantor tersebut buka pada
hari Rabu, 26 Desember 2012 karena Senin dan Selasa tentu libur cuti bersama
natal. Jadi, Arifin saya titipkan dengan Pak Sayidin, saya serahkan sepenuhnya
untuk membantu urusan Arifin di Ketapang.
Minggu pagi,
pukul 06.00 WIB saya berangkat dari Ketapang menuju Teluk Batang. Niat
sebelumnya dan memang kebiasaan sebelumnya dari Ketapang selalu berangkat siang
karena setahu saya waktu itu kapal hanya berangkat sore hari. Namun, kali ini
saya pergi pagi karena dapat informasi dari Pak Sayidin bahwa ada kapal yang
berangkat pagi. Beliau tahu tentang itu karena pengalamannya dulu saat harus ke
Pontianak untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam di STAIN Pontianak.
Hal itulah yang menjadikan saya berangkat pagi menuju penyeberangan. Lagi-lagi
kepergian kali ini tak sendiri. Arif (bukan Arifin) sepupu calotri (calon
istri) ingin ikut berlibur ke Ponti. Kebersamaan kali ini berbeda dengan
kebersamaan sebelumnya, yaitu pergi dengan Arifin dan kini dengan Arif. Selain itu,
sebelumnya masing-masng menggunakan kendaraan, namun kali ini Arif duduk manis
di boncengan belakang si merah.
“Jangan bawa anakku ngebut ya Mas Sur!” Pinta Ibunda Arif saat
menitipkan anaknya.
“Insyaallah,” jawabku menguatkan.
Dalam perjalanan
menuju Melano kecepatan si merah maksimal 80-85 km/jam. Saya tak berani memacu
motor lebih dari itu dikarenakan terngiang amanah ibunda Arif untuk tidak
membawa anaknya ngebut. Sekitar setengah jam perjalanan Arif berkomentar sinis.
“Ah, pakai motor baru, Vixion pula, tapi hanya kecepatan 80, ini sih
kalah-kalah Si Medy, bahkan Bapakku lebih laju dari ini!” mendengar komentarnya
bara moto-gp kumenyala. Kuacungkan jempol sebagai persetujuan atas
celetukannya. Kali ini, kuturunkan gigi motor satu kali dengan sedikit menahan
kopling kemudian menarik kuat gas motor. Motorpun melesat di atas 100 km/jam. Akan
tetapi, amanah terus mengiang di telingaku. Jadi, kecepatan maksimal vixion
saat itu hanya mencapai angka 110 km/jam, aku tak berani lebih. Selain alasan
itu, peluang untuk lebih laju juga terhambat oleh medan jalan yang tak
mendukung untuk kecepatan di atas itu.
Perjalanan pun
terasa cepat, yang ditandai kami telah melewati hamparan durian di Sukadana. Setelah
itu, melewati Pulau Datuk. Pagi itu jalanan tak terlalu ramai sehingga memacu
kendaraan dalam kecepatan 100 km/jam pun tak terlalu beresiko. Akan tetapi, aku
selalu mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang ada. Contohnya saat melihat dan
membaca (kompetensi membaca cepat) plang yang ada di sisi jalan “kurangi
kecepatan sering terjadi kecelakaan” atau “hati-hati tikungan tajam sering
terjadi kecelakaan” maka dengan sigap gas motor kukendurkan dan kaki menginjak
rem perlahan. Slogan peringatan itu benar adanya karena pagi itu aku dan Arif
membuktikannya. Setelah daerah Pulau Datuk terdapat tikungan tajam ke kanan,
beberapa meter sebelum tikungan itu telah terdapat lampu kuning yang terus
berkedip disertai plang peringatan tikungan tajam. Di ujung tikungan tajam
tersebut beberapa motor berhenti dan parkir di sisi luar jalan. Aku pun ikut
berhenti. Ternyata ada yang mengalami kecelakaan di tikungan itu. Seorang ibu-ibu
yang membonceng nenek (mungkin ibunya/ibu mertuanya) mengendarai motor sekuter Spacy
yang tercebur ke dalam parit (slokan). Motor beserta orangnya berenang di dalam
parit tersebut. Untungya bulan Desember ini musim hujan sehingga parit tempat
motor itu terjerembab terisi air. Jadi, tak terlalu fatal akibat yang
ditimbulkan oleh kecelakaan itu. Hanya sedikit goresan di dagu si pengendara. Sedangkan
nenek tersebut tidak terlihat terluka hanya pakaian dan jilbabnya kotor terkena
lumpur parit yang keruh. Aku dan orang-orang yang berhenti akhirnya memberikan
pertolongan mengangkat motor dari dalam parit yang memiliki kedalaman sekitar dua
meter. Arif, hanya menonton saja peristiwa itu tanpa tergerak untuk membantu. Entahlah,
apa yang terlitas di benaknya saat itu. Setelah pertolongan sukses dilakukan,
perjalanan pun dilanjutkan.
Sesampainya kami
di Melano aku arahkan motor menuju Sui Mata-Mata. Tujuanku ke daerah itu
menemui Bibi dan Pamanku yang trasmigrasi di daerah itu. Aku berkunjung ke tempatnya
untuk mengantarkan bibit kacang tanah yang jauh-jauh hari dipesannya. Selesai dengan
misi itu, perjalanan pun lanjut ke Teluk Batang. Dari Melano-Teluk Batang
ditempuh dalam waktu 30 menit saja. Alhamdulillah, ada kapal yang telah siap
berangkat.
“Berapa tiket, Bang?” tanyaku pada penjual tiket.
“Rp.180.000,”
Harga tersebut jika dirincikan sebagai berikut @Rp.60.000 X 3
(Aku, Arif, dan Si Merah).
“Berangkat pukul berapa, Bang?”
“Pukul 10.00 WIB”
Setelah menentukan tempat barang-barang kami bergegas membeli
makan, cemilan, dan minuman untuk di perjalanan (dalam kapal). Kulihat si merah
pun telah dinaikkan ke atas kapal. Pukul 10.05 terdengar deru mesin kapal. Kapal
pun berlayar menyusuri sungai menuju dermaga Rasau Jaya. Biasanya waktu tempuh
kelotok 10-12 jam. Jadi, perkiraan pukul 20.00-22.00 WIB kami telah merapat di
tempat tujuan.
Kelotok baru berenang 30 menit hujan lebat telah mengguyur. Jendela-jendela
pun segera ditutup. Keadaan dalam kelotok gelap dan pengap. Gelap teratasi
karena nahkoda segera menghidupkan lampu. Sedangkan pengap tak mampu ditepis
karena banyak perokok yang tak perduli. Saat situasi tertutup seperti itu
justru perokok aktif ramai menyulut rokoknya padahal banyak anak-anak di
sekitarnya. Kepekaan yang memudar. Mengetahui lampu hidup, Arif segera mengecas
BB-nya. Maklum banyak kawan yang sedang oll (online) jadi energi BB harus di
isi agar internetan lebih lama dan lancar.
“Rif, kelotok ini ramai. Jadi, naruh HP saat dicas jangan gegabah.
Terus dipantau jagan sampai lengah.” Pesanku pada Arif yang datang ke sebelahku
setelah menaruh HP-nya di atas salon dan kabel cas yang telah tertusuk pada
tempatnya. Sepuluh menit berlalu, hujan masih turun dengan lebatnya, Arif
meninjau kembali HP-nya.
“Aduh! Mas sini!” teriaknya sambil melambaikan tangan.
Aku tak terlalu menghiraukannya dikarenakan saat itu kapal mulai
merapat di sebuah dermaga (aku tak tahu namanya) dan aku terfokus melihat
warung-warung makanan yang berjejer rapi dari celah jendela.
“Mas!” teriaknya lebih keras.
“HP-ku nda ada!” sambungnya setalah melihatku menatapnya.
“Tinggal casnya saja ni!”
Kondisi saat itu penumpang ramai yang turun menerobos hujan untuk
membeli makanan. Aku menghawatirkan dua
hal, pertama HP yang dalam keadaan dicas tersebut diambil seseorang saat turun
membeli makan dan kedua kemungkinan HP itu jatuh ke lambung kapal.
“Jadi gimana, Mas?”
“Kita bongkar papan ini satu persatu!”
“Duh, berarti tercebur ke dalam airlah HPku, Mas.”
Kulihat raut muka Arif yang dilema.
Satu persatu papan kapal kami bongkar. Dengan pencahayaan HP-ku
akhirnya terlihat BB yang kini dalam kondisi menyelam di lambung kapal yang
tergenang air.
“Ya, itu mas lihat BB-mu. Dah, segera turun dan ambil!”
“Mana?”
“Mana?”
“Itu!” kurahkan telunjukku.
Setelah BB ditangan, kembali kami tutup papan yang telah kami
bongkar sebelumnya.
“Udah, jangan dihidupkan dulu, nanti kita servis di Pontianak
saja!”
Perjalanan berlanjut dan kami tiba di Dermaga Rasau Jaya pukul
20.15 WIB. Alhamdulillah . . .si merah pun turun terdepan sehingga kami memacu
kembali motor lebih dulu dari penumpang lainnya. Lanjuuuut (gaya Ariel NOAH) ke
Pontianak kota tujuan terakhir kami.
Bersambung . . .
Cerita Berikutnya:
“Di Pontianak” dan “Pulang”