Senin, 12 Oktober 2009

foto-foto WS_love_colection





"Keluargaku"









Mas M Noor Latifan beserta Istri "Tina",





























nah yang kecil-kecil ini keponakan aku Anis dan Itsna
















ini foto ku dan calon istri.














ini Foto adekku Khaerul Azis Fatoni

Meraih Mimpi

Pagi ini udara cukup dingin, ya...desa ku begitu pagi datang bersama sahabatnya embun pagi selalu membuat badan terasa menggigil, rasa dingin yang menusuk tulang. Gelap masih menyelimuti desaku, namun aktifitas penduduk di desaku sudah dimulai. Seperti biasa dan memang sudah menjadi aktifitas rutinnya setiap pagi, ibu ku sibuk dengan kegiatannya di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga dan menyiapkan makanan untuk ia bawa pergi bekerja.

Di desaku baik perempuan atau laki-laki semua bekerja di kebun sawit. Karena sebagian besar masyarakat di tempat ku petani sawit. Desa sp 4 Air Durian Jaya namanya yang berpenduduk kurang lebih 300 kepala keluarga. Aku teringat dahulu pertama kali menginjakkan kaki ku ditanah yang membesarkan ku seperti saat ini. Waktu itu aku baru berumur delapan tahun, baru kelas satu SD, pergi merantau bersama Ortu ke Kalimantan. Waktu itu aku sampai ke tanah sp 4 pukul 01.00 malam, dan ditempatkan di Balai Desa. “ah akhirnya sampai juga” pikirku. Semua menginap di satu tempat yaitu Balai Desa. Perjalanan yang begitu melelahkan membuat ku cepat terlelap. Perjalanan yang waktu itu aku tempuh dari Kab. Ketapang-Sp.4 ditempuh dengan perjalanan satu hari satu malam, menggunakan truk dan belum lagi jalan yang ‘super rusak’. Hanya supir-supir berpengalamanlah yang mampu melewatinya. Pagi-pagi aku dan keluarga ku jalan-jalan melihat lingkungan kami yang baru. Hutan masih berdiri kokoh disekitar pemukiman, rumah-rumah papan berwarna putih berdiri kokoh dengan hiasan ilalang beserta pohon-pohon yang aku tak tahu namanya. Kicau burung ramai sambut kedatangan ku, sepertinya ia begitu gembira melihat kedatangan kami, mereka bersorak gembira karena mendapatkan orang-orang seperti kami. Sambutannya begitu membahana disertai dengan lengkingan-lengkingan siul mereka begitu merdu dan syahdu. Menari-nari, loncat dari satu dahan kedahan yang lain. Untungnya saat itu tidak ada orang hutan yang menyambut kedatangan kami. Setelah melakukan undian posisi rumah, aku dan kedua orang tuaku pergi mencari no. Urut undian yang ayah dapatkan. Ayah ku mendapatkan rumah dengan no. 28. Setelah lama mencari-cari akhirnya aku menemukan rumah baru ku yang terletak di jalur 7. Siang harinya kami pun pindah ketempat rumah baru. Ternyata rumah yang keluarga ku dapat berada diatas bukit. Semua para keluarga pada hari itu sibuk membersihkan rumah masing-masing, begitu juga dengan ku. Aku dan ibuku membersihkan puing-puing kayu sisa bahan bangunan yang berserakan di halaman dan dalam rumah, sedangkan ayahku membersihkan ilalang yang menghiasi rumah. Baru berjalan beberapa menit aku dikejutkan oleh teriakan ayahku, “ULAR..!” teriaknya membuat aku dan ibuku yang tengah sibuk membersihkan rumah terkejut dan berlari ke tempat Ayah, aku tidak tahu ular apa namanya, soalnya aku kan masih kecil, yang jelas seingat ku ularnya hitam dan panjangnya sekitar satu meter lebih. Dengan sigap ayah mengambil sebatang kayu dan memukul ular itu hingga tewas menggenaskan. Kepalanya remuk dan darahnya bercucuran. Aku hanya termangu melihatnya menggeliat-geliat meregang nyawa bertarung dengan maut. Akhirnya ia terdiam untuk selama-lamanya. Aku kasihan melihat ular itu tapi aku lebih kasihan lagi jika ia menggigit ayahku, kan lebih baik ia mati dari pada melukai ayah kesayangan ku.

“apa ayah baik-baik saja?” tanya ibu panik

“ayah tidak apa-apa, bu” jawab ayah sambil mengusap peluh di dahinya. “yadi tolong ambilkan ayah minum !” teriak ayah sambil duduk di sebuah batang pohon yang telah tertidur lama yang usang dan hitam hangus terbakar. Malam harinya suasana semakin sunyi hanya ‘lampu perahu’ yang menerangi setiap rumah-rumah. Musik merdu kembali ku dengar dari dalam kamar ku. Musik sambutan hangat para jankrik beserta rombongannya, begitu syahdu dan menggetarkan jiwa. “alangkah indahnya ciptaan-Nya ini, bertubuh kecil,mungil namun lengkingan suaranya menembus angkasa, memnerobos kabut malam, merobek kesunyian embun yang sayup-sayup membasahi bumi. Mengantarkan ku dalam buaian mimpi indah ku....

***

Ibu menatap sayup, sebuah gundukan kecil di bawah rumah. Terdapat sebuah batu di ujung gundukan itu. Ibu hanya terdiam, ia mencoba membersihkan gundukan yang telah tertutup rerumputan itu. “Apa ini..???” apakah ini sebuah kuburan, lantas kuburan siapa..?”bisik ibu dalam hatinya. Tiba-tiba asap tebal mengepul dari batu yang tertancap di gundukan itu, ibu tidak bisa melihat sekelilingnya pandangannya tertutup asap yang begitu pekat. “JANGAN KAU USIK TIDURKU, JANGAN KAU KOTORI PEMBARINGAN KU...!!!!” tiba-tiba suara menggelegar terdengar di balik kepulan asap putih. Tanpa ada wujud, tanpa ada setitik cahaya kehidupan. Hanya suara. Ibu tersentak, keringat dinginnya mulai membasahi tubuhnya. Terdiam, lidahnya kelu, anggota badannya tak dapat ia gerakkan. Hanya hatinya yang mampu melawan semua, hatinya menangis dan berdoa ”ya Allah lindungilah hambamu ini dari segala macam bahaya dan jauhkanlah hamba dari godaan syetan yang terkutuk.” Ibu terbangun, nafasnya masih tersengal, masih sesak dadanya, keringat dingin basahi keningnya. Ia terbangun dari tidurnya “syukurlah ternyata hanya mimpi” gumammnya dalam hati. Ibu segera membangunkan ayah yang sedang tertidur pulas. Tidurnya yang begitu lelap tanpak dari halus dengkurannya yang berirama. Pagi harinya ibu kemudian menceritakan semua mimpi yang dialaminya tadi malam pada ayah dan juga aku, serta paman ku. Berhubung kami baru satu malam berada dirumah baru kami, paman memutuskan untuk mencarikan kami rumah yang lain dan kebetulan sebelah rumah paman ku belum ada yang menempati. Karena mimpi itu aku dan keluarga ku siangnya pindah rumah.

***

Tampak di beranda rumah bapak-bapak yang sedang asyik bercengkerama di sela-sela menghirup kopi. Mereka tampak asyik menikmati karunia Yang Mahakuasa berikan kepada mereka.

“Yadi”! lamunan ku buyar! Aku di kejutkan oleh teriakan ibuku yang memanggil ku untuk membantunya di dapur. Hanya aku yang kini tinggal dengan kedua orang tuaku bersama adik ku yang masih sekolah kelas 4 SD. Sedangkan kakak ku telah bersuami, jadi hanya akulah yang biasa membantu ibuku didapur.

Menurutku ibu ku adalah orang yang terbaik di dunia, ibuku orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Di samping menjadi ibu dalam keluarga, Ibu juga mampu membantu ayah mencari nafkah. Ibu dan Ayah yang walaupun berekonomi pas-pasan tapi aku akhirnya bisa lulus SMA.

Ya...aku lulus SMA 1 Bulan yang lalu.

“Bu, Yadi langsung kerja atau kuliah?” tanya ku kepada ibu yang sudah siap hendak pergi kerja.

Sambil mengikat tas kerjanya di boncengan sepeda tuanya ibu menjawab,”Yadi, Yadi, syukur-syukur sudah bisa lulus SMA. Mau kuliah pakai apa? Mau bayar kuliah pakai daun??! Jawab Ibuku sambil sedikit mencibirkan bibirnya.

“tapi kan Yadi pingin kuliah bu”

“ia Ibu tau tapi kamu lihat sendiri perekonomian kita”

“tapi.....”

“ya udah ibu pergi kerja dulu, ibu sudah terlambat!” ibu memotong pembicaraan ku seraya mengayuh sepeda tuanya

“HATI-HATI Bu!”

Walaupun sedikit ada kedongkolan dalam hati karena keinginan ku untuk kuliah nampaknya tak akan dipenuhi oleh orang tua ku, aku harus tetap tegar dan terus berusaha, agar apa yang aku cita-ciakan tercapai.

Pagi ini terasa sepi, seperti ada sesuatu yang hilang pagi ini, mungkin karena aku terbiasa saat di SMA pagi-pagi sudah sibuk bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tapi kali ini di rumah hanya aku, yang sibuk mengurusi pekerjaan yang semestinya di kerjakan oleh anak perempuan. Nyuci piring, menyapu halaman, mengepel lantai, dll.

“Ayah nggak pergi kerja?” tegurku kepada Ayah yang masih santai menghirup kopinnya.

“Ayah berangkat agak siangan dikit, malas berangkat pagi-pagi, dingin”

“ ya..berarti Ayah kalah dong sama Ibu, Ibu pagi-pagi sudah berangkat”

“ Ibumu berangkat pagi-pagi kan karena terpaksa, karena di tuntut oleh perusahaan” jawab Ayahku membela dirinya.

Ibuku memang berkerja di perusahaan P.T HSL di sebuah perusahaan sawit. Sehingga harus disiplin. Kalau tidak berangkat pagi-pagi maka akan ketinggalan lokasi tempat bekerja dan ujung-ujungnya akan terkena ‘PHK’ alias dipecat. Sedangkan Ayahku bekerja di lokasi penambangan emas yang bebas kapan berangkat. Karena bosnya adalah adik Ayahku, yaitu pamanku Sahti namanya.

“ yadi! Tolong keluarkan motor Ayah dan panaskan mesinnya” peritah Ayahku sambil memberikan kunci motor bututnya.

Aku hanya tersenyum sambil menghampiri ayah, menyambut kunci yang ia berikan.

Ku keluarkan motor Alfa 70-an ayahku dari kandangnya dan ku start, lama aku mengengkol startnya mungkin ada 7 kali baru berhasil aku hidupkan. Ayah hanya tersenyum melihat ku yang kesusahan menghidupkan mesin motor bututnya.

****

Setelah semua tugasku yaitu pekerjaan rumah selesai aku bereskan. Aku duduk di depan rumah sambil membaca majalah. Semua aku lakukan untuk menghilangkan rasa kejenuhan yang ada dalam setiap hari ku. Walaupun majalah yang aku baca telah usang alias sudah kadaluarsa tapi demi menyingkirkan rasa kejenuhan aku tetap membacanya, walaupun sudah berulang kali dan hampir tiap lembarnya aku hafal tentang topik apa yang dibahas. kring...kring...

Handphone ku berdering berteriak-teriak mengagetkan ku. Cepat-cepat aku mengangkatnya.

“halo!”

“ ya halo, ini Yadi ya....?” jawab di seberang

“ ya, benar ini siapa?”

“ aku Tosandi, ini nomor hp ku yang baru”

“o..o..aku kirain siapa”
” bro aku ada informasi penting nih, mau denger ngga?”

“ informasi apa?”

“ ada deh, pokoknya penting. Kalau mau tahu datang ke tempat Pak Edi”

“ OK, kalau memang benar-benar penting insya Allah nanti sore aku kesana”

“ ya udah aku tunggu, oh ya.. pesan Pak Edi sekalian bawa kelapa muda”

Belum sempat aku menjawab, telponku sudah berbunyi ’tut...tut’ tanda kalau di seberang sana handphonenya sudah di tutup.

Pak Edi adalah Ayah angkatku sewaktu aku sekolah di SMA. Beliau baik sekali dan sudah biasa jika aku pulang kerumah, pasti aku disuruh untuk membawakan kelapa muda untuknya. Dirumah ku terdapat ya..ngak banyak sih paling sepuluh pohon kelapa, itu pun yang berbuah hanya lima pohon.

Lama aku mencari berkeliling di setiap pohon kelapa untuk mencari yang benar-benar kelapa muda. Setelah menemukan, aku langsung memanjatnya.

“puk...puk..” suara kelapa muda yang ku pukul untuk memastikan muda atau tidak. Ku jatuh kan empat buah “buk....buk...”!

Setelah semua siap aku kini tinggal menunggu motor butut ayah ku pulang. Karena hanya itu lah satu-satunya kendaraan di keluargaku. Lama aku menunggu, aku lihat jam di handphone sudah menunjukkan pukul 16.33. “ah lama sekali sih...” gumamku. Ayah ku biasanya pukul 14.05 sudah sampai di rumah. untuk menghilangkan kejenuhan aku bermain game di handphone. Setelah satu jam menunggu terdengar suara motor butut ayah ku

‘tot...o..toot.ooo..ttt’ dari kejauhan saja aku sudah mengenali bahwa itu motor ayah ku. Memang di kampungku motor ayah ku sudah terkenal karena suara dan kebututannya. Sehingga walaupun masih berjarak 150 meter dari rumah sudah dapat di tebak bahwa itu pasti ayah ku.

“ayah kok lama sekali sampai rumahnya!?” tanyaku pada ayah yang sedang memarkirkan motor bututnya.

“ayah tadi mampir dulu di tempat kakakmu”

“gimana kabar Kak Tina yah?”

“baik, katanya besok minggu mau pulang”

“Ayah, Yadi boleh pinjam motornya nggak? Yadi mau ketempat Pak Edi, tadi Tosandi nelpon, dia bilang ada informasi penting”

“tu kan walaupun motor Ayah butut, tapi kamu minjam juga” celetuk ayahku sambil sedikit tersenyum. Seraya memberikan kunci motor bututnya.

Walaupun usia motor Ayahku bisa di bilang sudah tidak layak pakai, sudah waktunya di pensiunkan, tapi motor bututnya jarang ‘rewel’. Ya..mugkin karena keuletan Ayahku yang selalu merawatnya. Di waktu-waktu luangnya Ayahku selalu menyervis motornya. Sehingga walaupun kalah dengan para tetangga yang motornya keluaran terbaru semua, tapi Ayahku tidak kalah saing, motor bututnya tetap bisa membuat beliau tersenyum bangga.

Setelah satu jam perjalanan melewati ribuan pohon sawit yang berdiri tegak di tepi jalan, melambai-lambai memberikan semangat ku ‘menggenjot’ gas motor butut ayahku hingga akhirnya aku sampai di rumah Pak Edi juga. Walaupun rambut yang telah ku sisir begitu rapi, memakai minyak gatsby hingga hitam klimis, kini telah berubah warna menjadi kecoklatan, debu jalanan tak malu hinggap di pakaian dan wajah gantengku.

“motor ayah ku ini luar biasa!” pikir ku. Padahal sebelum berangkat aku sudah was-was takut di tengah perjalanan motor bututnya ‘ngambek’ alias ‘macet’. Tapi syukur ternyata motor butut ini setia mengantarkan ku.

”thank’s kawan!” sambil ku pukul jok motor butut ayah ku. Terimakasih ku untuk motor butut Ayahku. Untung aku tidak mendengar jawaban “oh..sama-sama!” darinya. Hanya hangat senyum manisnya yang terlihat dari asap yang masih sedikit mengepul dari ujung kenalpotnya.

“assalamu’alaikum” salamku, sambil masuk kedalam rumah membawa kelapa muda yang ku masukkan kedalam karung.

“waalaikumussalam, masuk aja Yad” terdengar jawaban dari dapur. Sebelum mereka menyuruhku masuk aku sudah sampai di dapur. Aku lihat Ayah angkat ku hanya tersenyum, sambil menikmati rokok soempoernanya. Aku langsung menaruh bawaan ku ke tempat biasanya. Setelah berbincang-bincang sebentar aku langsung masuk kamar untuk mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi.

Setelah makan malam aku duduk di sofa sambil menonton acara kesukaan Ayah angkat ku yaitu acara ‘empat mata’ sekarang menjadi (bukan empat mata) yang di bawakan oleh Tukul Arwana. Aku, Tosandi dan Pak Edi jika di rumah pasti tidak ketinggalan menontonya. Karena memang acara favorit kami.

“ Pak, kata Tosandi ada informasi penting, informasi apa Pak? Tanya ku di sela-sela tawa kami. Ya acara Tukul memang ‘super kocak’.

“ kemarin Bapak dapat informasi dari kawan Bapak yang bekerja di kantor pendidikan Kabupaten Ketapang, katanya ada beasiswa dari Pemda Ketapang untuk kuliah di Universitas Tanjungpura” jawab Pak Edi serius.

“program apa aja Pak?”

“bahasa indoesia, matematika, sama bahasa inggris”

“asyik, bahasa indonesia...!!” teriak ku dalam hati kecilku. Aku senang sekali karena pelajaran bahasa indonesia adalah pelajaran favorit ku. “i like bahasa indonesia”

“pendaftaran terakhirnya tanggal 15 Mei ini dan biayanya Rp.300.000” kata Pak Edi melanjutkan pembicaraannya.

Aku hanya diam dan terfokus lagi menonton acara TV ‘empat mata’. Kami asyik tertawa sampai tidak terasa sudah larut malam.

“pak saya masuk dulu, mau tidur” aku yang sudah sangat ngantuk kemudian berpamitan utuk masuk. Pak Edi hanya menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya. Beliau masih asyik terfokus pada acara televisi. Aku masuk ke kamar yang di sediakan untuk aku dan Tosandi. Aku lihat Tosandi telah tertidur nyenyak. Dia tidur lebih dulu. Aku satu kamar dengannya. Hanya saja ia tidur di atas ranjang sedangkan aku tidur di lantai beralaskan kasur. Lama aku tak bisa tidur. Aku teringat informasi yang di sampaikan oleh Pak Edi. Aku berfikir kira-kira ada tidak biaya untuk aku pergi mendaftar. Belum masalah kendaraan, belum lagi biaya selama di kabupatennya. Di sana kan tidak ada keluarga sama sekali. Tentu semua memerlukan biaya yang tidak sedikit.”ah besok aja aku bicarakan dengan Ayah dan Ibu di rumah” bisik ku dalam hati.

***

Aku terbangun setelah mendengar sayup-sayup suara adzan subuh berkumandang dari masjid raya. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan langsung berangkat ke Masjid Raya. “masjid sebesar ini kok jamaahnya nggak sampai satu saf. Kemana para muslim. Apakah mereka masih asyik terbuai mimpi sehingga tak mendengar seruan, tak mendengar panggilan. Atau karena memang mereka malas!” gumam ku dalam hati.

“ya Allah jika perkuliahan adalah jalan yang terbaik yang Engkau berikan untukku dan memang Engkau ridhoi, berilah hamba kemudahan untuk menggapainya” do’a ku setelah sholat. Tiada tempat kita mengadu selain kepada-Nya, tanpa ridho-Nya niscaya apa yang kita lakukan tidak akan ada manfaatnya. Lama aku tersimpuh berdo’a. Aku harus mengadu kepada-Nya, sebelum aku berbicara dengan orang tuaku. Seperti biasa setelah sholat aku bagi tugas dengan Tosandi. Aku bagian mengepel lantai sedangkan tosandi kebagian mencuci pakaian dan menjemurnya. Ini sudah biasa kami lakukan di rumah Pak Edi setiap harinya, jka kami berada di rumahnya.

“Tos kamu sendiri gimana mengenai informasi yang dari Pak Edi itu?” tanya ku pada tosandi di sela-sela acara ‘ngepel’ ku.

“insya Allah aku mau daftar”

“berangkat mendaftarnya pakai apa?”

“kemarin aku sudah janjian sama Hary, aku boncengan sama Hary pakai motor. hary juga mau mendaftar”

“kawan-kawan kita banyak nggak sih yang mau mendaftar!?

“banyak! si Tajudin, Dedi, Ary, entah kalau yang cewek aku nggak tau”

“mereka berangkat ke Ketapangnya pakai apa?”

“Tajudin boncengan sama Dedi, kalau Ary aku nggak tau”

Aku terdiam sejenak, fikiranku entah memikirkan apa aku sendiri tidak tau. Aku kembali lagi terfokus untuk menyelesaikan tugas rutin ku ‘ngepel lantai’. Setelah semua pekerjaan selesai aku mandi dan bergegas ke dapur karena sudah di tunggu oleh Pak Edi untuk sarapan.

“kok makannya cuman sedikit Sur” tegur Pak Edi yang melihat ku mengambil nasi hanya sedikit, tidak seperti biasanya. Pak Edi memang biasa memanggil ku dengan nama Sur. Karena nama panjangku Suryadi.

“anu pak, saya mau cepat-cepat langsung pulang. Soalnya motor Ayah mau dipakai kerja”

“nanti kalau sampai rumah bilang sama Ayah dan Ibumu salam dari Bapak. Dan bilang masalah beasiswa itu, sayang kalau dilewatkan, jarang-jarang ada kesempatan Sur!”

“insya Allah pak” jawab ku sambil menaruh piring kotor di tempat pencucian piring.

Aku keluarkan motor butut Ayahku dan ku panaskan mesinnya. Pak Edi hanya tersenyum mendengar bunyi motor Ayahku. Senyum yang menandakan ada sedikit keanehan mendengar bunyi demikian. Tentu bunyinya tak sehalus motor Pak Edi yang keluaran terbaru. Kan empat tak dengan dua tak suaranya berbeda.

“kenapa pak? Bising ya?” tanya ku melihat Pak Edi yang masih tersenyum.

“ada uang untuk isi bensin ngga?”tanya Pak Edi yang tak menjawab pertanyaan ku. Mungkin beliau tak perlu menjawab sudah bisa aku terka jawabannya dari ekspresi wajah beliau.

“ada pak, terima kasih” jawabku sambil sedikit tersenyum. setiap aku atau Tosandi pulang, kami selalu di beri uang untuk beli bensin oleh Pak Edi. Beliau memang sangat baik.

“ya udah pak, saya jalan dulu, takut Ayah sudah lama menunggu di rumah”

“hati-hati, tidak usah ngebut”

“ya pak, assalamu’alaikum”

Sambil ku tarik gas motor butut Ayahku. Motor yang selalu setia megantarkan ku. Walaupun tenaganya tak sekuat motor-motor saat ini. Perjalanan dari rumah Pak Edi ke rumahku memakan waktu 1 jam. Ketika aku sampai di rumah, aku lihat Ayahku yang memang sudah menungguku, tampak beliau menugguku sudah lama. Terlihat dari pakaiannya yang sudah siap untuk pergi bekerja dan aku lihat di asbak ada beberapa putung rokok Nikki yang masih mengeluarkan sedikit asap’racunnya’.

“maaf yah aku pulangnya agak siang, mungkin Ayah sudah menunggu Yadi dari tadi” aku membuka percakapan.

“gimana kabarnya Pak Edi sekeluarga, sehat?”

‘syukurlah Ayah nggak marah’ gumamku dalam hati

“kabar Pak Edi sehat yah!”

“nanti kamu jangan pergi kemana-mana, piring kotor di dapur sudah setia menuggu. Jangan lupa juga nanti masak nasi. Kasihan kan nanti adik mu pulang sekolah, mau makan tidak ada nasi!”pesan ayah serius.

“tadi bensinnya kamu isi nggak?” tanya ayah yang sambil menutup kembli tutup tangki bensin motor bututnya.

“yadi isi dua liter yah”

“ya udah, Ayah pergi dulu. Ndak enak sama Pamanmu dia sudah menunggu dari tadi. Jangan lupa pesan Ayah tadi! Jangan sampai nanti Ibumu pulang-pulang ngomel!” pesan Ayah yang kedua kali, sambil menarik gas motornya. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Setelah aku mandi dan semua pekerjaan rumah aku selesaikan aku beristirahat di ruang tamu. Siang ini cuaca sangat panas. Sambil membaca majalah aku berbaring menunggu adikku pulang sekolah. “kak...kak..” suara adikku yang membangunkan aku dari tidur siang ku. Ah ternyata aku sampai tertidur. “kakak sudah sholat dzuhur belum?”

“alhamdulillah belum, sekarang pukul berapa?”

“14.15!”

“Ya Allah ternyata aku sudah tertidur dua jam. Mimpi apa aku sampai aku tak mendengar suara adzan dzuhur!”

“Rul kamu mau kemana?! Sudah makan belum? Teriakku melihat adikku yang berjalan keluar rumah sambil memakai kaos bolanya. Adikku dan aku memang sama-sama cinta mati kepada si kulit bundar alias sepak bola. Tidak perduli siang hari, tak perduli dengan terik matahari yang tak pernah lelah dan mengeluh menyinari bumi.

“aku mau main bola di tempat Bayu! Aku dah makan, tapi....”sebelum adikku meneruskan pembicaraannya. Ia sudah ku angkatkan kepalan tanganku. Adikku memang selalu mengolok masakan ku. Namanya juga cowok tentu masakannya tak seenak dan selezat masakan cewek. Apalagi yang di masak hanya sayur kangkung, bayam, daun singkong! Tapi masih mendingan masakanku dari pada masakan cewek-cewek kota. Terutama artis, cantik-cantik tapi nggak bisa masak. Makanannya enak-enak tapi hanya mengandalkan orang tua. Itupun ada juga orang tua terutama ibu-ibu tidak bisa masak.

“ah EGP, yang penting aku ikhlas masaknya!” aku langsung bergegas ke sumur untuk mengambil air wudhu. Setelah sholat dan menyampaikan munajah kepada-Nya aku kembali lagi ke ruang tamu. Aku buka pintu lebar-lebar sehingga AC alami membelai mesra. Masuk lembut menyapa. Tak perlu bayar, tak perlu memakai energi listrik. Kelembutan dan bisikan mesranya membuat aku tertidur kembali, terbuai mimpi. Tapi aku tak tau mimpi apa. Yang pasti aku bermimpi.

Aku terbangun setelah terdengar sayup-sayup suara adzan melintas dalam tidurku, suara itu menghentikan semua mimpi-mimpiku. Aku bergegas bangun, bangun dari buaian mimpi menuju impian untuk melaksanakan kewajiban tuk mendapatkan setitik harapan mendapatkan maghfirah dan memohon untuk diwujudkan impianku yang ingin kuliah. Aku sadar hanya kepada-Nya lah kita dapat memohon untuk dikabulkan semua mimpi dan pengaharapan. Hati kecilku mulai terhenyak melihat mushola kini yang terlihat hanya dua orang, hati kecilku ‘ngomel’ kemana masyarakat yang notabennya adalah orang muslim, kemana mereka? Apakah mereka masih asyik dengan perkerjaan dunianya. Apakah kencintaannya kepada materi dunia mengalahkan kecintaanya kepada Yang Mahakuasa, tidakkah mereka sadar akan kewajibannya, tidakkah mereka takut pada ancaman-Nya? Ya Allah sadarkanlah mereka. Buka mata hati mereka, jangan jadikan mereka buta dan lalai terhadap perintah-Mu hanya karena gemerlapnya dunia.

***

Sore harinya ketika semua berkumpul Aku, Ibu, Ayah dan Pamanku. Semua asyik membahas dan menceritakan tentang pekerjaan masing-masing. Ibu menceritakan mandornya yang galak, sedangkan Ayah dan Paman menceritakan betapa gembiranya ketika mendapatkan emas yang mencapai empat gram. Jarang sekali mendapatkan yang seberat itu. Terkadang seharian bekerja tidak mendapatkan apa-apa, ya...memang semua sudah ada yang mengatur, rizqi setiap orang itu telah diatur oleh-Nya. Tinggal bagaimana usaha kita untuk mencarinya dan selalu bersyukur atas nikmat karunia yang telah diberikan-Nya. Sedangkan aku hanya sebagai pendengar setia mereka, terkadang ikut tertawa jika ada yang berceriata lucu, terkadang aku hanya mengomentari apa yang mereka bicarakan.

“Bu kemarin aku diberitahu oleh Pak Edi, katanya Pemda Ketapang akan memberikan beasiswa untuk berkuliah di Universitas Tanjungpura”

“loh bagus itu, jangan disia-siakan”pamanku menimpali serius

“ia bagus tapi, tentu semua memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mengenai biayanya bagaimana?”tambah Ayahku

“sekarang paman tanya, Yadi ada keinginan untuk kuliah tidak?”

“kalau ditanya mengenai ingin atau tidaknya sih sudah dari dulu Yadi bicara sama Ibu kalau Yadi ingin sekali kuliah”jawabku

“nah...yang penting itu niatnya, niat itu harus yang nomor satu, kalu kita ada niat atau keinginan pasti kita akan diberikan jalan oleh-Nya”

“yang Ibu pikirkan adalah bagaimana kamu ke Ketapangnya! Ke ketapang itu bukannya dekat. Kalau mengenai biayanya nanti ibu bisa pinjamkan sama paman Jhonimu”

“yang penting sekarang adalah dananya dulu, masalah kendaraannya gampang, motor pamankan ada”

“biaya pendaftarannya berapa?”kata ayahku yang dari tadi sibuk mencari korek api untuk menyalakan rokok Nikkinya.

“biaya pendaftarannya Rp.300.000, kata Pak Edi terakhir pendaftarannya tanggal 15 Mei ini, tesnya tanggal 16 Mei”

“besokkan hari minggu, kakakmu pasti pulang, paman Jhonimu juga pasti pulang, besok kita musyawarahkan lagi”sambung Ibu.

Aku hanya terdiam, melamun, berjuta pengharapan di hati ini terus bergejolak. Terus berharap untuk bisa berkuliah. Ada sedikit kelegaan setelah mendengar ucapan Ibu yang memberikan sedikit semangat dan keyakinan. Aku kemudian beranjak pergi untuk latihan sepak bola. Setiap sore aku dan team sepak bolaku yang kami beri nama PSAJ(Persatuan Sepak bola Air Durian Jaya) selau latihan dilapangan ‘Gelora Pemuda’. Selama aku di rumah jika sore mulai menghampiri dan mentari tak lagi mengeluarkan sinar panasnya, yang tinggal sayup-sayup sinarnya tertunduk malu di ufuk barat, namun tetap tersenyum menyinari. Menambah semangat kami untuk terus berlatih. Terkadang kami berkunjung ke desa-desa tetangga untuk menguji mental dan kekompakan team dalam bermain. Aku selalu diposisikan sebagai striker. Ini adalah posisi favoritku, rasa gembira dan bangga aku rasakan jika aku berhasil menyarangkan si ‘kulit bundar’ ke gawang lawan.

Jika suara alat pengeras dimasjid sudah melantunkan ayat-ayat suci-Nya, yang menandakan sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang, kami segera mengakhiri latihan. Pulang kerumah masing-masing.

Aku mandi buru-buru ketika mendengar adzan berkumandang dari alat pengeras suara yang ada di surau ‘Darussalam’ nama surau di dekat rumahku.

Keesokan harinya, paman ku yang bekerja di perusahaan P.T HSL sebagai mandor karyawan pulang ke kampungku, paman ku Jhoni memang dua minggu sekali pulang. Demikian juga kakak ku pulang bersama suaminya. Suaminya bekerja di Paerusahaan yang sama, hanya berbeda lokasi tempat bekerja. Suami kakak ku bekerja di bidang harves it sebagai asistennya. Jadi dua minggu sekali di rumah ku selalu ramai, karena semua keluarga berkumpul. Setiap dua minggu sekali gelak tawa selalu membahana. Paman Jhonlah yang selalu membuat semua tertawa, memang pamanku yang satu ini pandai sekali melucu. Apalagi setelah bertemu paman Sahti semakin seru mereka bercerita lucu-lucu. Yang membuat suasana menjadi ceria.

“Bu apa betul katanya yadi mau kuliah?”tanya kakakku sambil membantu Ibu di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga.

“ia, cuma Ibu masih bigung mengenai biayanya, kamu tau sendiri perekonomian Ibumu ini. Adikmu Haerul saja terkadang pergi ke sekolah tidak dikasih uang jajan, bukan karena pelit tapi memang Ibu tidak ada simpanan uang”

“Yadi nya sendiri gimana Bu?”

“adikmu sih sangat ingin sekali kuliah!”

“ya sudah nanti saya yang bicara langsung sama dia”

Setelah mandi aku menjemur pakaian yang baru saja aku cuci di sungai. Ternyata mencuci itu sangat melelahkan. Aku baru sadar, dulu sering minta dicucikan pakain oleh Ibu. Aku menjadi sadar bahwa tentu semua berat jika dikerjakan setiap hari oleh Ibu. Walaupun ibu tidak pernah mengeluh tapi aku bisa merasakannya sekarang. Setiap aku megerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh Ibu disitulah aku baru tahu dan menyadari betapa selama ini Ibu sudah sangat lelah sekali. Setelah pulang kerja, yang masih diselimuti kelelahan harus bertemu dengan pakaian kotor yang menumpuk, bertemu dengan piring-piring kotor, belum lagi Ibu harus masak. Tentu semua ini melelahkan sekali untuk Ibu. Belum sempat istirahat, beliau harus menguras tenaganya kembali untuk melakukan kewajibannya sebagai Ibu rumah tangga. Lantas apa gunanya aku sebagai anak jika aku tidak bisa membantunya. Setelah mengganti pakaian aku bergegas ke dapur untuk membantu Ibu. Aku lihat Kak Tina juga sudah dari tadi nampak memnbantu Ibu.

“Yadi bisa bantu apa nih?!”tegurku sambil mendekati Kak Tina yang sedang meracik bumbu.

“parutkan Ibu kelapa”jawab Ibuku sambil memberikan kelapa yang sudah siap untuk diparut.

“Yadi, kakak dengar katanya kamu mau kuliah?”tanya kakakku sambil memandangku penuh selidik

“Yadi memang mau kuiah, pas sekarang ini juga ada tes bewasiswa dari Pemda Ketapang. Siapa tau Yadi lulus tesnya. Setiap yadi bilang sama Ibu mengenai keinginan Yadi untuk kuliah, Ibu selalu bilang tidak ada biaya. Mungkin ini jalan yang diberikan oleh-Nya untuk Yadi”

“iya, kakak tau. Coba sekarang kamu pikir, seandainya kamu lulus terus kuliah di Pontianak. Biaya perbulannya saja berapa? Biaya untuk kamu makan di sana berapa, belum masalah lainnya. Seandainya ngirim uang juga lewat siapa? Pontianak jauh dari sini tentu semua memberatkan Ibu. Kamu tau sendiri pendapatasn Ibu perbulannya. Ayah juga sudah tua, sudah saatnya istirahat dan kamu yang mencari nafkah”

“kak, Yadi yakin selama ada keinginan pasti akan ada jalan”

Kakak ku terdiam mendengar aku berkata demikian. Aku sendiri tidak tau apa yang dipikirkan kakak ku. Aku juga ikut terdiam. Aku hanya berpikir aku harus bisa kuliah, harus bisa!

“marutnya cepetan sedikit. Nanti magh Ayahmu kambuh sudah siang begini belum sarapan” suara Ibu mengejutkan aku dari lamunanku. Setelah selesai membantu Ibu aku bergegas ke depan rumah. Aku ingin ikut berkumpul dengan keluarga besar yang dari tadi aku hanya mendengar suara tawa mereka yang begitu ceria. Aku ingin ikut dalam keceriaan mereka. Aku lihat ada paman Jhoni, Paman Sahti, Ayahku berserta beberapa tetangga ku yang sudah berkumpul di beranda rumah. Sudah menjadi kebiasaan berkumpul sambil menikmati kopi. Dibumbui dengan gelak tawa yang dapat mencegah dari proses penuaan dan menghilangkan setres setelah beberapa hari bekerja. Kebiasaan Ayah apabila hari libur selalu mengurusi motor bututnya, beliau selalu merawatnya. Yang jelas ada saja yang beliau servis acap kali mengurus motor bututnya. Aku hanya duduk diantara mereka sambil membaca majalah, terkadang hanya ikut tersenyum jika mendengar kelucuan diantara mereka.

***

Keesokan harinya sepulang Ibu dari bekerja Ibu memanggilku yang sedang membaca majalah sepak bola walaupun bekas alias keluaran sudah lama tapi semua itu bisa menghilangkan kejenuhan.

“Yadi, kemarin Ibu sudah berbicara sama paman Jhonimu, paman mu sangat setuju kalau kamu kuliah. Masalah biaya pamanmu akan memberikan pinjaman”

aku hanya terdiam mendengar Ibu berkata demikian. Hati ini mulai bergejolak kembali, harapan untuk dapat berkuliah kini sudah mulai memberikan hasil walaupun hanya setitik harapan yang baru terwujud. Tapi aku tetap bersyukur karena aku yakin keinginan ku ini pasti akan terwujud dan semua memerlukan proses, tentu untuk menghasilkan sesuatu itu ada tahapannya tidak serta merta langsung menjadi seperti apa yang kita harapkan.

“loh kok diam, apa kamu nggak senang, atau niat mu untuk kuliah sudah memudar!”tambah Ibu sambil menatapku penuh selidik.

“Yadi diam bukan berarti Yadi tidak suka atau tidak senang. Memangnya kegembiraan selalu di identikkan dengan loncat-loncat, coret baju seperti waktu kelulusan kan tidak Bu! Justru Yadi sangat bersyukur ini artinya keinginan Yadi untuk kuliah sudah mulai ada harapan dan mudah-mudahan terkabulkan”

“terus kamu berangkat mendaftarnya kapan?”

“nanti aku tanya Tosandi dulu, biar kesananya sama-sama”

“loh, Tosandi pergi pakaiapa?”

“dia boncengan sama Hary”

“sekarang ini sudah tanggal 11, kalau cari informasi jangan di tunda-tunda

Nanti telat mendaftarnya”

“iya Bu, nanti saya hubungi Tosandi, terimakasih atas nasihatnya”jawabku

sambil melangkah masuk mencari handphone. Lama aku mencari tidak juga aku temukan. Aku biasa menaruh handphonku di atas meja tapi kali ini kok tidak ada.

“Bu, lihat handphone Yadi tidak?”

“Ibu nggak lihat, coba kamu tanya sama adikmu”

“mau bertanya gimana, adikku aja ngak ada”

“mungkin main bola di tempat Bayu”

“apa mungkin dia main bola membawa HP Yadi?”

“di dunia ini tidak ada yang mustahil. Walaupun adik mu tidak membawa HP mu kesana, tapi kan siapa tau tadi adikmu main game terus menaruhnya kembli di tempat lain!”

‘benar juga kata ibu’gumamku dalam hati sambil keluar rumah mencari adikku. Setelah sampai di rumah Bayu aku lihat adikku tengah asyik bermain bola bersama teman-teman seusianya. Adikku terlihat lincah saat membawa si kulit bundar. Dia sering sekali membobol gawang lawan. Aku asyik meihat permainan adikku hingga aku lupa pada tujuan utamaku. Memang sesuatu yang mengasyikkan terkadang membuat kita lupa, lupa waktu, lupa kewajiban, ujung-ujungnya kita kehilangan kesadaran apa tujuan utama kita. Terutama tujuan utama kita hidup ini untuk apa. Terkadang manusia lalai hanya karena kenikmatan sesaat. Kenikmatan yang hanya menjanjikan keindahan dan kemewahan yang berujung penyesalan. “GOOOOOL!”teriak adikku semangat, mengagetkan ku dari bisikan anganku. Mengingatkan aku kembali pada tujuanku.

“Rul, sini sebentar!”

“tanggung kak sebentar lagi”

“kakak mau tanya sebentar”

Adik ku menghampiri ku dengan nafas yang masih senin-kamis mungkin karena dari tadi berlari sehingga wajar bila nafasnya sedikit tersengal.

“na..nya a..pa kak! Arul kakinya sudah gatal nih mau mencetak gol lagi”

“kamu lihat HP kakak nggak?”

“oh..maaf tadi Arul pakai main game dikamar. Terus Arul taruh di...dimana ya...?! jawab adikku sambil menggaruk kepalanya. Aku hanya menatapnya sambil tersenyum kecut.

“Arul ingat! Arul taruh di atas lemari pakaian”jawab adikku sambil berlari kembali ketengah lapangan mini mereka. Bermain bola kembali dan mencetak gol-gol indah untuk kesekian kalinya. Aku beranjak pulang untuk mencari HP yang menurut adikku diletakkan di atas lemari pakaian. Setelah menemukannya aku kemudian menelphon Tosandi.

“hallo, Tosandi ya???tanyaku

“ia ada apa?”

“kamu jadi berangkat pergi mendaftarnya kapan?”

“aku berangkatnya tanggal 13, kamu sendiri kapan?”

“aku bertanya sama kamu karena aku maunya kita berangkat sama-sama”

“terus kamu berangkat pakai apa?”

“aku minta antar sama paman soalnya aku tidak tau jalan kearah Ketapang. Kan aku kesana saja baru satu kali”

“o...gitu ya..!ya udah nanti kita berangkatnya sama-sama, kamu tunggu saja aku di rumah mu. Nanti aku mampir dan kita berangkatnya sama-sama.”

“OK deh. Oh ya kamu sekarang dimana?”

“aku masih di rumah Pak Edi, kemarin aku pulang ke rumah cuma dua hari sudah disuruh ke tempat Pak Edi lagi.”

“Tos udah dulu, pulsa ku sudah menipis nih, salam buat Pak Edi sekeluarga.” Sambil ku tutup panggilan telphon ku. Aku hanya terdiam melamun membayangkan jika aku lulus dan betapa senangnya bisa kuliah sepeti yang sering aku lihat dalam televisi. Aku membayangkan saat tes dan lulus. Ah...untuk apa aku melamun menghabiskan waktu saja. Bukankah ada pepatah mengatakan waktu itu adalah pedang, waktu yang telah berlalu walau hanya satu detik pun tidak akan pernah bisa kembali....

bersambung.......................................

Kecodak Lombok

video ini penulis ambil saat saya berlibur ke Desa Rempek Kec. Gangga Lombok Barat. Waktu itu ada sebuah resepsi pernikahan. ini merupakan budaya adat pernikahan suku sasak.

Mahasiswa Basinda Kelas Khusus Ketapang


Mahasiswa Basinda Kelas Khusus Ketapang merupakan mahasiswa kerja sama Pemda Ketapang dengan Universitas Tanjungpura. Ada tiga prodi yaitu bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan matematika. Masing-masing dari tiap prodi berjumlah 40 orang, sehingga keseluruhannya berjumlah 120 orang.

Nama-nama Mahasiswa Basinda Kelas Khusus Ketapang adalah Suryadi Abdillah, Fadillah, Asmirizani, Mega Marlita, Rudian setiawan, Siti Aisyah, Jhontra Liporta, Yacobus Mere, Trianus Tunggal, Adel Bertus, Rosnila, Neneng, Eliyana, Jahlia, Ratih Maya Sari, Tisya Utari, Marnila Wati, Deden Herdiana, Umar Bakri, Arusi B. Fatoha, Tuti Nurhayati, Didik Rahayu, Ega Suhaimi, Jeki Sudianto, Iin Sudianto, Heri Kusmanto, Dini Mariyam, Fridolin Hendri, Egi Herisoni, Dewi R. Sari, Eli Fitriani, Lisa Elisabeth, Nanik Irawati, Susi Susanti (telah keluar/ berhenti), Dina, Herlina, Umniyah, Wahdah Juwayriah dan Rusifa Aini.

Beban tanggung jawab dipundak kami tentu sangat berat, kami dikuliahkan tentu biayanya melalui uang rakyat. Motivasi inilah yang selalu dosen sampaikan kepada kami, hampir disetiap perkuliahan. motivasi yang membakar bara semangat kami, untuk selalu menjadi yang terbaik.