Minggu, 28 November 2010

KAJIAN PROSA (BASINDA) FKIP UNTAN


Bagi kamu-kamu mahasiswa FKIP Untan Basinda (bahasa Indonesia) semester 3 yang mengikuti mata kuliah Kajian Prosa dapat mengakses atau dapatkan materinya di blog ini.

Tugas-tugas tidak perlu lagi kalian ketik, cukup download pada link di bawah ini. dengan catatan tugas yang diperintahkan dosen kalian sama. he2

download kajian prosa di sini

Ada juga materi Kajian Prosa mengenai Presentasi Nilai dalam Prosa.

Silakan klik di sini
SELAMAT MEMBACA DAN KULIAH YANG RAJIN, YA KAWAN!

Rabu, 17 November 2010

Dangduth dari Masta City_Gala-Gala (PC)

Walaupun gambar di samping adalah Raja Dangdut bersama putranya tapi ketahuilah pada laman ini ada file lagu dangdut (Lagu Roma Irama) persembahan anak Masta. Penulis sengaja menampilkan foto beliau untuk lebih meyakinkan para pembaca bahwa di laman ini ada lagu Bang Haji.

Penulis tidak tahu siapa selaku penyanyi dan siapa selaku gitarisnya. Akan tetapi, kualitas gitar dan suara pada album ini dijamin maknyossss!
Menurut sumber yang penulis himpun dari Nasrul Arif (Satu di antara siswa berprestasi di SMAN 1 Masta '10) mengatakan video klip pada album dangdut ini dibuat di PC (Pelabuhan Cinta [Cihuuuyyyy :)]). Dengar nama tempat penggarapan video klipnya aja romantis, apalagi hasilnya. Nah, daripada saya menulis panjang lebar. Silakan aja disimak hasilnya pada Link ini.
dangdut Masta Gala-Gala (PC)
Dapat juga dapat Anda lihat di YouTube
Semoga berkesan dan dapat menghibur pendownload semua. Amien.

Peterpan(Father Band) Dilema Besar dari Masta

Sebuah persembahan baru dari anak muda Manis Mata, yaitu sebuah solo album berhasil diterbitkan.
Walaupun sebenarnya lagu yang dinyanyikan ini merupakan lagu Peterpan namun t idak kalah dahsyatnya dari penyanyi aslinya Ariel.
video clip Masta dapat Anda download dan lanjut nikmati di sini
Pemuda Masta ini di antaranya: Necky (Gitar), Andy (Vokal), Ehsan
( Drum), dan Aku Tak Tahu namanya (He2)..
Dapat juga Anda lihat di You Tube pada Link Ini
Selamat Menikmati...Semoga Berkesan..

Pesan Untuk anak Masta, coba kreatif buat lagu sendiri. Ok!

Senin, 15 November 2010

Novel Endensor karya Andrea Hirata

Edensor

“Semuanya telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi selangkah pun kami tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi” (hal 280).
Ketika negeri ini tengah dilanda berbagai persoalan kebangsaan yang pelik, hadirlah sebuah novel yang menggugah, yaitu Edensor, sebuah novel petualangan yang mengajarkan semangat hidup. Edensor merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Edensor dalam penulisannya dibagi dalam lima mozaik, di mana setiap mozaiknya memuat cerita yang berbeda-beda. Namun secara umum Edensor banyak bercerita tentang masa-masa SMA Ikal dan Arai, aktivitas setelah mereka lulus dari SMA, aktivitas saat mereka kuliah di Prancis, dan pengalaman petualangan mereka menaklukkan benua Eropa dan sebagian Afrika.
Ikal dan Arai adalah dua saudara tidak sekandung. Arai diasuh oleh keluarga Ikal karena ibu bapaknya meninggal. Keduanya menjadi saudara yang kompak, konyol, dan nakal, namun cerdas. Keduanya selalu bersama baik ketika masih SMA maupun setelah mereka bekerja di Jakarta. Saat kuliah keduanya berpisah. Ikal di Jakarta dan Arai di Kalimantan. Keduanya bertemu kembali ketika tes beasiswa di Jakarta dan akhirnya bersama-sama berangkat kuliah di luar negeri.
Mozaik pertama bercerita tentang awal kelahiran Ikal. Konon saat melahirkan Ikal, sang ibu sengaja mengulur-ulur waktu walaupun sakit sudah dirasakan. Bahkan ibunya sampai membentak dukun beranak Mak Birah: “Coba kau tengok baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir tanggal 24 Oktober! Tidakkah kau dengar maklumat di radio?! 24 Oktober adalah hari berdirinya perserikatan bangsa-bangsa, PBB! Hari yang penting. Aku ingin anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!” (hal 16).
Mozaik kedua berisi tentang keberangkatan Ikal dan Arai ke Prancis dan kerepotan mereka mencari asrama mahasiswa serta kekonyolan mereka “mengerjai” petugas penghubung antara mahasiswa dari seluruh dunia yang belajar di Prancis dengan Universitas Sorbonne. Petugas itu disuruh mengucapkan namanya sendiri berulang-ulang. Tujuannya hanya satu, yaitu agar Ikal dan Arai dapat mendengar sengau orang Prancis. Maurent Le Blanch menjadi Morong LeBlang (hal 80-84). Ternyata sengau dapat menjadi identitas seseorang.
Mozaik ketiga berkisah tentang aktivitas kuliah dan kehidupan Ikal dan Arai di Prancis, tentang pergulatan Ikal dengan teori-teori ekonomi, dan tentang “teman dalam cinta” Ikal bersama Katya. “Kami menikmati daya tarik turning a friend into a lover, mengubah teman menjadi kekasih, ternyata proses itu menyenangkan” (hal 127).
Mozaik keempat bercerita tentang petualangan Ikal dan Arai dalam menaklukkan benua Eropa-Afrika. Petualangan mereka diawali dengan cerita Ikal dan Arai yang terdampar di sebuah desa Rusia. Sebagai orang yang sedari kecil telah lekat dengan kesusahan dan kehidupan yang keras, tampaknya kesulitan dalam perjalanan menaklukkan Eropa dan Afrika justru dianggap sebagai pengalaman yang tidak terlupakan. “Di Syzran nasib yang paling sial menghadang. Kami ditangkap polisi karena dianggap mengganggu. Inspektur yang mulutnya berbau Vodka itu marah. Ia menghantam perutku dengan popor Kalashnikov. Arai melompat ingin melindungiku, kopral menghantam tengkuknya dengan gagang pistol Glock. Ia tersungkur, wajahnya menabrak kaki meja” (hal 198-199). Perjuangan keduanya mengarungi Eropa sangat heroik dan dramatis. Tanpa peta, kompas, dan uang sepeser pun mereka rela makan buah plum mentah serta daunnya, atau melamar menjadi pemetik zaitun.
Mozaik kelima berkisah tentang akhir dari petualangan Ikal dan Arai menaklukkan Eropa-Afrika. Ternyata petualangan keduanya merupakan pertandingan yang telah disepakati sebelumnya dengan teman-teman mereka. Semua peserta akan bertemu di Spanyol. Namun, sebelum ke Spanyol, Ikal dan Arai sempat singgah di Sisilia, Tunisia, dan Zaire. “Aku dan Arai telah menunggu lebih dari setengah jam di Kafe Nou CamP, bersebelahan dengan official store Barcelona Football Club” (hal 270).
Edensor adalah novel yang sangat inspiratif. Anak Indonesia yang suka berpetualang dan mempunyai mimpi berkeliling dunia, dianjurkan untuk membaca novel ini. Bahasanya mengalir dan mudah untuk dipahami. Ceritanya tidak membosankan. Pembaca akan cepat-cepat menyelesaikan membaca novel ini untuk kemudian berpindah ke novel berikutnya.
Yusuf Efendi

sumber: MelayuOnline.com

Novel Endensor dapat Anda unggah (download) pada link di bawah ini
Novel Endensor karya Andrea Hirata

Selamat Membaca!

Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata


Sang Pemimpi

Sinopsis

Jauh di pedalaman pulau Belitong, tiga orang anak di sebuah kampung Melayu bermimpi untuk melanjutkan sekolah mereka hingga ke Perancis, menjelahi Eropa, bahkan sampai ke Afrika.! Ikal, Arai, dan Jimbron, merekalah si pemimpi itu, walau bagai punguk merindukan bulan, mereka tak peduli, mereka memiliki tekad baja untuk mewujudkan mimpi mereka, hidup di daerah terpencil, kepahitan hidup, kemiskinan, bukanlah pantangan bagi mereka untuk bermimpi. Mereka tak menyerah pada nasib dan keadaan mereka, bagi mereka mimpi adalah energi bagi kehidupan mereka masa kini untuk melangkah menuju masa depan yang mereka cita-citakan.
Novel kedua Andrea Hirata “Sang Pemimpi” ini bertutur bagaimana ketiga anak kampung Melayu di kawasan PN Timah Belitong menjalani hari-hari mereka bersama mimpi-mimpinya. Karena masih merupakan kelanjutan dari novel pertamanya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi pun masih bertutur mengenai memoar kehidupan Ikal, dalam menapaki kehidupannya. Jika dalam Laskar Pelangi tokoh Ikal yang ketika SD hingga SMP ditemani oleh kesepuluh teman-temannya yang dinamai Laskar Pelangi, kini Ikal yang telah bersekolah di SMA ditemani oleh dua orang temannya Arai dan Jimbron.
Arai sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Ikal, kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Arai tak memiliki saudara kandung sehingga setelah kematian kedua orang tuanya Arai diasuh oleh kedua orang tua Ikal di kampungnya sehingga bagi Ikal, Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik baginya, Arai memiliki pribadi yang terbuka dan cerdas. Sedangkan Jimbron adalah sosok rapuh, ia tak secerdas Ikal dan Arai, ia gagap dalam berbicara semenjak kematian ayahnya. Jimbron sangat terobsesi oleh kuda, padahal di kampungnya tak ada seekorpun kuda bisa ditemui, nantinya kisah Jimbron dan obsesinya ini menjadi bagian yang menarik dan lucu pada buku ini
Ikal, Arai dan Jimbron memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, mereka bahu membahu mewujudkan mimpi mereka, saat itu PN Timah Belitong sedang dalam keadaan terancam kolaps, gelombang PHK besar-besaran membuat banyak anak-anak tidak bisa meneruskan sekolah mereka karena orang tuanya tak sanggup membiayai. Mereka yang masih ingin bersekolah harus bekerja. Demikian juga dengan ketiga pemimpi, begitu tamat SMP mereka ingin tetap melanjutkan sekolah mereka, karena di kampung mereka tak ada SMA, mereka harus merantau ke Magai, 30 kilometer jaraknya dari kampung mereka. Untuk itu mereka tinggal bersama-sama dalam sebuah los kontrakan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya mereka bekerja mulai dari penyelam di padang golf, office boy di sebuah kantor pemerintah hingga akhirnya bekerja sebagai kuli ngambat, yang bertugas menunggu perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan. Menurut hirarki pekerjaan di Magai, kuli tambat adalah pekerjaan yang paling kasar yang hanya akan digeluti oleh mereka yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan lain. Hal ini membuktikan bahwa ketiga pemimpi ini memiliki hati yang sekeras tembaga untuk bisa bersekolah untuk mewujudkan mimpi mereka.
Kisah memoar kehidupan Ikal dan kedua sahabatnya dalam mewujudkan impian inilah yang tersaji dalam novel ini. Semua kisahnya tersaji dalam 18 bab yang tidak terlalu panjang, masing-masing memiliki kisahnya sendiri, namun ada juga beberapa bab yang sambung menyambung. Beberapa bab menyuguhkan cerita-cerita yang bersahaja seperti pada bab Baju Safari Ayahku yang mengisahkan bagaimana ayah Ikal yang tak banyak bicara namun begitu mencintai dirinya, hal ini terbukti ketika ayahnya harus mengayuh sepeda sejauh 30 km untuk mengambil rapor ikal dan Arai. Ketika hari yang ditentukan tiba ayah Ikal bahkan harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan dirinya, dikenakannya satu-satunya pakaian Safari empat saku kesayangannya yang telah disetrika dengan rapih, baginya hari itu adalah hari yang terpenting bagi hidupnya. Kesungguhan hati sang ayah dalam mengambil rapor Ikal dan Arai tak berbuah sia-sia karena mereka masing-masing menduduki rangking ketiga dan kelima. Kisah yang tersaji dalam bab ini sangatlah indah, secara piawai Andrea meramu kalimat-kalimatnya dengan indah sehingga pembaca akan merasakan bagaimana bangganya Ikal memiliki ayah yang begitu mencintainya.
Masih ada beberapa kisah lagi yang menggugah, namun ada juga beberapa kisah lucu yang membuat pembacanya tersenyum dan tertawa terbahak-bahak ketika membaca pengalaman-pengalaman lucu mereka, misalnya pada Bab Bioskop yang menceritakan kisah kenakalan Ikal dan kawan-kawannya ketika secara sembunyi-sembunyi masuk kedalaam gedung bioskop untuk menonton film-film murahan yang mengumbah syahwat. Tentu saja ini petualangan yang berbahaya karena menonton bioskop merupakan salah satu larangan paling keras dari Pak Mustar, guru mereka. Kisah yang lucu dan seru ini bersambung ke 2 bab berikutnya yaitu Action dan Spiderman. Khusus di Bab Spiderman pembaca akan dibuat tertawa karena obsesi Jimbron terhadap kuda melahirkan sebuah kisah yang lucu dengan ending yang membuat pembaca tertawa terbahak-bahak.
Selain itu, disela-sela kisah-kisah ketiga pemimpi yang terdapat dalam buku ini, pembaca juga akan disuguhi potret landskap pulau Belitong lengkap dengan kondisi sosialnya, salah satunya yaitu dengan mengungkap anak-anak melayu yang harus bekerja mendulang tembaga, mencari bongkah kaursa, topas dan gelena yang sesungguhnya adalah milik penduduk kampung Melayu namun semuanya itu harus mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk menggendutkan perut para cukong di Jakarta. Selain itu Andrea pun dengan jiwa yang besar melakukan otokritik terhadap kaumnya, suku Melayu. Diwakili oleh tokoh pengusaha kaya di kampungnya Capo Lam Pet Nyo, Andrea mengkritik habis perilaku suku melayu yang ditulisnya sebagai orang yang manja karena bergantung pada keberadaan PN Timah, banyak teori, sok pintar walau baru sedikit ilmunya, sombong walau hanya memiliki sedikit harta, dll. Otokritiknya ini ditutup dengan kalimat lugas yang keluar dari mulut Capo Lam Pet Nyo “Kalau timah tak laku, kalian orang Melayu mati…” (hlm164).
Masih banyak peristiwa-peristiwa yang menarik yang dialami oleh Ikal dan kedua kawannya. Kesemua peristiwa yang mereka alami tak ubahnya seperti potongan-potongan mozaik, walau awalnya seperti terserak seakan berdiri sendiri, namun jika disatukan akan akan membentuk sebuah pemandangan yang indah yang dalam konteks buku ini akan menuju suatu bentuk wujud dari impian besar mereka. Sayang, ketika potongan mozaik yang menceritakan ketika Ikal telah memasuki bangku kuliah tidak tereskplorasi dengan baik., kalimat “Tak terasa aku telah menyelesaikan kuliahku” (hlm 250) seolah memberi alasan bagi Andrea untuk beralih ke kisah selanjutnya, atau mungkin mozaik ini akan muncul di buku berikutnya ? Semoga saja demikian. Buku ini diakhiri dengan kisah Ikal dan Arai kembali ke kampungnya sambil menanti keputusan dari kampus mereka apakah mereka diijinkan untuk melanjutkan riset ke luar negeri atau tidak. Berhasilkah Ikal, Arai dan Jimbron mewujudkan mimpi mereka untuk menjejakkan kaki mereka hingga ke Sorbrone – Perancis ? Jawabannya akan pembaca temui dalam bab-bab terakhir di buku ini.
Walau memiliki banyak hal yang menarik dalam buku ini, ada sedikit kejanggalan yang mungkin akan dirasakan oleh pembaca. Pada cover depan buku ini tertulis bahwa Sang Pemimpi adalah “Buku Kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi” bukan tak mungkin pembaca Laskar Pelangi akan menyangka bahwa buku kedua Andrea ini masih menceritakan kehidupan tokoh Ikal bersama pasukan Laskar Pelanginya, sayangnya anggota Laskar Pelangi yang begitu kompak dan menemani masa-masa indah ikal sewaktu SD hingga SMP tak terceritakan lagi dalam Sang Pemimpi, dari 18 bab, hanya sekali Laskar Pelangi disinggung, itupun hanya sekilas saja, apakah memang dari kesepuluh anggota laskar pelangi tak ada satupun yang melanjutkan ke SMA Bukan Main di Magai ? Selain itu tokoh Arai yang dalam Sang Pemimpi diceritakan telah tinggal bersama Ikal sama sekali tak dimunculkan dalam Laskar Pelangi, padahal dalam novel ini dikisahkan bahwa Ikal dan Arai telah tinggal serumah layaknya kakak dan adik semenjak mereka kelas tiga SD.
Secara keseluruhan buku ini tak kalah menarik dengan Laskar Pelangi, Andrea nampaknya masih `bermain` dalam pola yang sama dengan buku pertamanya, beragam kisah yang pernah dialaminya ditulis dalam masin-masing bab dan dikumpulkan menjadi satu buku, mirip kumpulan cerpen namun memiliki benang merah yang kuat. Sang Pemimpi adalah sekuel dari Laskar Pelangi dan merupakan buku kedua dari apa yang disebutnya sebagai Tetralogi Laskar Pelangi. Seperti diungkap oleh penulisnya dalam lembar ucapan terimakasihnya, kini buku ketiga dan keempat sedang ditulisnya, dan Budaya orang Melayu dan Tionghoa pedalaman di Belitong lah yang akan menjadi platform untuk mendefiniskan tetralogi Laskar Pelangi.
Dari segi penuturan, antara buku pertama dan kedua tak terlihat berbeda, Andrea tampaknya masih konsisten menyuguhkan kisah-kisah kehidupan yang memesona yang dirangkai dengan kalimat-kalimat yang menyihir pembacanya sehingga pembaca dibawa berkelana menerobos sudut-sudut kehidupan anak-anak kampung Melayu yang polos, sederhana namun memiliki kekuatan terhadap cinta, persahabatan, pengorbanan, dan tekad yang keras untuk mewujudkan mimpi mereka. Tiap-tiap kisah yang dituturkan baik yang penuh dengan kelucuan, keharuan, tragedi dll diungkap dengan teknik bercerita yang memukau, tak heran jika Nicole Horner dalam endorsmentnya mengatakan bahwa Andrea adalah seorang seniman kata-kata.
Kehadiran Sang Pemimpi dalam ranah perbukuan tanah air masih dalam situasi yang sama ketika Laskar Pelangi diterbitkan, buku-buku fiksi yang beredar masih banyak yang bertutur mengenai kehidupan kaum urban dengan segala permasalahannya atau cerita-cerita remaja metropolitan yang tak lepas dari problem cintanya. Belum lagi kini pasar buku diramaikan dengan hadirnya karya-karya terjemahan yang menggugat dasar-dasar keyakinan umat tertentu.
Ditengah-tengah kondisi ini kembali Andrea menyuguhkan sebuah kisah yang lain. Sang Pemimpi hadir dengan kisah-kisah sederhana. Namun dari kesederhanaan inilah pembaca akan disadarkan bahwa kemiskinan dan berbagai hambatan yang membelit cita-cita seseorang bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi. Selain itu Melalui rangkaian kisah-kisah dalam buku ini baik yang filosofis, menyentuh bahkan menggelikan akan terlihat secara jelas betapa dashyatnya tenaga mimpi dari tokoh-tokohnya sehingga membawa mereka untuk terus berjuang menaklukkan berbagai rintangan- yang mereka hadapi untuk mewujudkan mimpi mereka.
“Kita akan sekolah ke Perancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apapun yang terjadi!”
Sumber : bukuygkubaca.blogspot.com
Sumber : Melayuonline.com

Novel karya Andrea Hirata di atas dapat Anda unggah (download) pada link di bawah ini
Unggah Novel Sang Pemimpi
selamat membaca!

Kumpulan novel karya Andrea Hirata

NOVEL LASKAR PELANGI

Judul Buku: Laskar PelangiPenulis: Andrea HirataNegara: IndonesiaBahasa: IndonesiaGenre: RomanPenerbit: Bentang Pustaka, YogyakartaTanggal terbit : 2005
Halaman : xxxiv, 529 halaman
ISBN : ISBN 979-3062-79-7

Sinopsis

Sebelas anak Melayu Belitong yang disebut Laskar Pelangi ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Sebut saja Lintang, seorang kuli kopra cilik, yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu-bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan lagu padamu negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus.

Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka dan temukan diri anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. Novel ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories dan khususnya juga buat siapa saja yang masih percaya akan adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia pendidikan. Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar.

Novel karya Andrea Hirata di atas, dapat Anda unggah (download) pada link di bawah ini
Novel Laskar Pelangi gratis!

Rabu, 10 November 2010

Cara membuat dan mepublikasikan e-Book

Jangan putus asa jika kalian kesulitan memasarkan karya-karya kalian karena saat ini sudah ada buku panduan membuat buku elektronik dan cara mempublikasikannya dan GRATIS!
E-Book ini cukup mudah dipelajari. Silakan Anda unggah (download) filenya pada link di bawah ini
download (unggah) e-Book Gratis

Semoga bemanfaat dan teruslah berkarya!

Metode Pembelajaran Pendamping

Sebagai seorang pendidik tentu harus memiliki metode dalam pembelajaran, misalnya metode ceramah, diskusi kelompok, pemodelan, dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk menciptakan sebuah hasil belajar yang sesuai dengan kompetensi atau tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Jika Anda memerlukan metode pembelajaran yang dapat Anda terapkan ke dalam pembelajaran, silakan unggah (download) filenya pada link di bawah ini.
Unggah (download) file metode pembelajaran


Semoga bermanfaat!
Jadilah guru yang frofesional dan dapat mendidik murid menjadi terdidik baik secara akhlak (prilaku) maupun kempetemsi akal (otak).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Tata Persuratan Di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional

Permendiknas ini merupakan peraturan seputar tata cara penulisan surat, khususnya penulisan surat dinas. Dengan adanya peraturan ini tentunya dapat menjadi acuan para koresponden dalam menulisk surat. Nah, jika Anda merasa sebagai sekertaris, pelajar, maupun orang kantoran yang bergelut dibidang tulis-menulis surat, silakan Anda download (unggah) file permendiknas di bawah ini.
Download (unggah) gratis Permendiknas

Semoga bermanfaat dan dapat menjadikan surat-surat yang dibuat oleh siapa saja sesuai dengan aturan yang berlaku. Amien!

Selasa, 09 November 2010

e-Book Gratis Kumpulan Cerpen dan Puisi



Sebuah karya perdana diterbitkan oleh pustaka pribadi yang menjalin kerja sama dengan Abdillah.

Sebagaimana cerpen dan puisi remaja pada umumnya, kumpulan cerpen dan puisi karya Abdillah ini sebagian besar bertemakan cinta. Ada beberapa karya saja yang berisikan tentang pendidikan.

Bicara mengenai pendidikan, cerpen tersebut pernah dilombakan di tingkat universitas Tanjungpura, dan bercokol di urutan 5 besar.

Judul : Kumpulan Cerpen dan Puisi
Penulis : Abdillah
Jumlah Halaman: 53
Bentuk file : pdf
Harga: 0,-
Penerbit : Pustaka Pribadi @2010
Bahasa: Indonesia


Hasil karya Abdillah yang perdana ini berbentuk e-Book (buku elektronik) dapat anda download (unggah) pada link di bawah ini:
Download gratis kumpulan cerpen dan puisi karya: Abdillah

Senin, 02 Agustus 2010

Paul The Octopus Predict The Final - Netherlands VS Spain

Sajadah Sholat

kuasa Allah

BUSH Dimalukan Kerana Menghina Al-Quran

kejadian ajaib kubah terbang

kuasa Allah S.W.T

KeajaibAn AlLah SWT.padang sebelum gempa .3gp

Annoying Orange: Cruel as a Cucumber

Jumat, 23 Juli 2010

Cerpen terbaik ke lima pada lomba penulisan cerpen Hardiknas 2010 Universitas Tanjungpura FKIP Untan

[Enter Post Title Here]

“TAK SIA-SIA”

Oleh: Suryadi Abdillah H.

Saat kuterdiam seperti ini. Merenungi semua yang telah terlewati. Tidak ada yang lebih mengesankan batinku, tidak ada yang bisa membuat senyumku mengembang, dan tidak ada yang membuat lidahku sepontan berucap syukur pada-Nya, kecuali bayang perjuanganku menjadi mahasiswa, menjadi orang yang menuntut ilmu di dunia pendidikan yang lebih tinggi seperti saat ini.

Setelah kelulusanku, tidak ada lagi harapan orang tuaku untuk menyekolahkanku di perguruan tinggi. Tidak ada. Bahkan terbesit dalam benak mereka juga kurasa tidak. Yah, maklumlah selain keduanya tidak mengenyam dunia pendidikan di usia muda, keterbatasan biaya juga yang semakin memupuskan harapan, mengikat hati untuk tidak bermimpi yang lebih tinggi.

Sebelum pengumuman kelulusan pun, telah jauh-jauh hari keduanya memberiku sebuah pesan ‘keramat’, yaitu “Setelah lulus nanti kamu langsung kerja ya. Bantu Ayah dan Ibu mengurus kebun sawit. Bila perlu nanti dengan ijazah SMA kamu itu, tentu bisa menjadi modal untuk melamar kerja sebagai mandor di perusahan sawit tempat Ibumu bekerja.” Itulah pesan yang selalu ‘dinyanyikan’ keduanya saat kami bercengkrama.

Aku paham atas sikap mereka yang sepereti itu. Aku bisa memaklumi mereka. Dan tidak ada yang dapat kuperbuat selain mengiyakan dan menganggukkan kepala sebagai bentuk persetujuan dan penghormatanku pada mereka.

Bukan kuputus asa! Bukan! Tidak juga karena aku tak punya harapan dan mimpi seperti orang kebanyakan. Aku hanya sadar akan diri, bemimpi tentu hak setiap orang. Berharap tentu lumrah saja untuk jiwa yang bernyawa. Tapi jati diri ini yang semakin mendukung diri untuk tidak mampu mengelak dari suratan takdir. Diri yang masih belum memenuhi standar hidup layak, membuat siluet gambar mimpi yang baru remang-remang terkoyak. Dan hilang tak membekas.

‘Kejarlah cita-citamu setinggi langit,’ semboyan itulah yang selalu dilontarkan guru untuk menyemangati murid-muridnya untuk mengejar cita-cita, hanya saja teman-teman selalu menambahkan kata-kata, “tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit!” dan jika guru telah selesai menorehkan ilmu di tiap-tiap otak siswanya, kemudian kembali ke kantor untuk sekadar minum air putih sebagai penyegar tenggorokannya yang kering, maka selanjutnya murid-murid akan berteriak, “kejarlah ilmu setinggi langit, tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit”. Kontan saja sekelas gaduh oleh tawa.

Mungkin gurauan itulah yang telah terekam dalam otakku, dan menjadikan aku berpikir ada benarnya juga. Jika aku ingin mengejar cita-cita menjadi seorang pendidik, tapi ekonomi keluarga saja masih di bawah standar hidup layak, bagaimana aku bisa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pastinya bagaimana aku bisa menggapai cita-cita itu! Bukankah itu impian yang terlampau tinggi bagiku? Kalau tidak gila maka akan setres! Ya, bisa saja seperti kebanyakan pejabat yang tidak terpilih akhirnya ‘ngedrop’ kejiwaannya karena bisa saja mimpinya terlampau tinggi untuk ia raih. Tak sesuai dengan potensi diri dan kelayakan diri. Aku tidak ingin merasakan sakit, karena ngotot meraih mimpi yang tak sesuai. Itulah yang membuatku semakin layu dan takluk pada apa saja yang terjadi dan yang dikehendaki.

Setelah pengumuman kelulusan itu, bukan main senangnya hati. Aku lulus! Itu yang membuat aku, orang tuaku, keluargaku, dan teman-temanku bangga kepadaku. Memang aku tergolong pendiam di kelas. Tidak nakal, tidak usil dengan sesama, dan tidak juga suka membolos seperti teman-temanku kala itu. Apalagi melawan guru, seperti kebanyakan temanku dan kini harus menerima karma tak lulus ujian. Tak ada keburukan yang akan kita peroleh kecuali dari tingkah laku kita sendiri. Itulah pesan Ayah kala menasihatiku. Jadi, walaupun standar nilai kelulusan rendah, tinggi, maupun sedang, tapi jika kita tidak menghormati sumber ilmu, tidak akan diridhoi oleh yang empunya ilmu, dan sudah bisa dipastikan kelulusan hanyalah sebuah angan belaka.

Aku memang tak pernah juara. Bukan karena aku bodoh! Melainkan karena aku malas belajar. Tak ada orang bodoh di dunia ini. Semua terlahir dengan kelebihan dan kekurangan. Sungguh mustahil manusia yang derajatnya lebih sempurna dibandingkan dengan mahluk yang tercipta lainya namun ditakdirkan bodoh. Dilahirkan untuk bodoh. Tidak! Kurasa tidak. Mustahil pula kelebihan yang ditakdirkan untuk seseorang itu kebodohan. Kelebihan “bodoh”. Tak logis! Kebanyakan manusia itu malas. Dan itu kurasakan bersemayam dalam diri ini. Aku tak ingin munafik. Aku tak ingin sok, tapi jujur kuakui di bangku SMA aku malas. Malas untuk belajar.

Kesadaran akan potensi diri saat beberapa hari menjelang ujian. Ketekunan belajar meningkat 180. Dan hasilnya aku lulus dengan menduduki peringkat tiga. Yah, setidaknya ada peningkatan. Bukankah manusia yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari harinya yang kemarin!

Acara syukuran pun diselenggarakan di rumahku. Jangan terbayang masakan lezat. Jangan pula terbayang minuman segar seperti es teler, apalagi ala restoran. Wah, sangat berbeda. Mungkin disebut syukuran ala kadarnya.

***

“Bakri! Sapa Ayah pagi itu.

“Suami kakakmu yang sekarang bekerja di perusahaan sawit sebagai asisten kantor, kemarin mengatakan di sana ada lowongan pekerjaan. Nah, daripada kamu menganggur seperti teman-temanmu yang putus sekolah itu, tentu alangkah lebih baik jika kamu ajukan saja lamaran ke sana,” sambung Ayah di sela menghirup kopinya.

“Bakri sih terserah Ayah dan Ibu. Jika meridhoi Bakri bekerja di sana, ya Bakri akan jalani itu.”

“Loh, ya pasti orang tua ridho. Bukankah Ayah dan Ibu jauh-jauh hari sudah mengatakan, kamu harus langsung kerja.”

“Oh ya Ayah, Bakri lupa cerita, kemarin waktu Bakri mengambil ijazah di sekolah, kata kepala sekolah, Pemda Ketapang membuka peluang beasiswa. Ada tiga program, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sama Matematika. Biaya pendaftarannya Rp 300.000. Pesannya sih peluang ini jangan sampai di lewatkan. Dan ada lima teman Bakri yang sudah siap pergi.”

“Beasiswa apa?” tanya Ayah tak mengerti.

“Beasiswa kuliah di Universitas Tanjungpura, Yah! Jika Bakri lulus tes ini, nanti kuliahnya dibiayai pemerintah.”

Pembicaraan pagi itu cukup singkat karena Ayah harus segera pergi bekerja. Sikap Ayah dan Ibu juga tidak berubah, tetap tak mengerti. Ya, mungkin mereka benar-benar tidak punya mimpi untuk anaknya ini.

***

Keesokan harinya, tepatnya hari Minggu, pamanku yang bekerja di perusahaan PT HSL sebagai mandor karyawan pulang ke kampungku. Pamanku Jhoni memang dua minggu sekali pulang. Demikian juga kakakku pulang bersama suaminya. Suaminya bekerja di Perusahaan yang sama dengan paman Jhoni, hanya saja yang membedakanya adalah lokasi tempat bekerjanya. Suami kakakku bekerja di bidang harves it sebagai asistennya. Jadi dua minggu sekali di rumahku selalu ramai, karena semua keluarga berkumpul.

Setiap dua minggu sekali gelak tawa selalu membahana. Paman Jhonilah yang selalu membuat semua tertawa, memang pamanku yang satu ini pandai sekali melucu. Apalagi setelah bertemu paman Sahti semakin seru mereka bercerita lucu-lucu. Yang membuat suasana menjadi ceria.

“Bu apa betul katanya Bakri mau kuliah?”tanya kakakku sambil membantu Ibu di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga.

“Ia, cuma Ibu masih bigung mengenai biayanya, kamu tahu sendiri perekonomian Ibumu ini. Adikmu, Haerul, terkadang pergi ke sekolah saja tidak dikasih uang jajan, bukan karena pelit tapi memang Ibu tidak ada simpanan uang”

“Bagaimana dengan Bakri, Bu?”

“Adikmu bilang dia mau tes saja dulu. Nanti kalau lulus tes beasiswa di Ketapang berarti dia kuliah di Pontianak dan dibiayai pemerintah. Sebenarnya Ayah sama Ibu mau dia bekerja saja, tapi adikmu itu sudah diberi pesan sama kepala sekolah untuk mengikuti tes itu, peluang besar katanya. Ah, entalah Ibu tidak mengerti!”

“Ya sudah nanti saya yang bicara langsung sama dia.”

Setelah mengganti pakaian aku bergegas ke dapur untuk membantu Ibu. Aku lihat Kak Tina juga sudah dari tadi nampak membantu Ibu.

“Bakri bisa bantu apa nih?!” tegurku sambil mendekati Kak Tina yang sedang meracik bumbu.

“Parutkan Ibu kelapa,” jawab Ibuku sambil memberikan kelapa yang sudah siap untuk diparut.

“Bakri, kakak dengar katanya kamu mau kuliah?”tanya kakakku sambil memandangku penuh selidik.

“Bakri memang mau kuliah, pas sekarang ini juga ada tes beasiswa dari Pemda Ketapang. Siapa tahu Bakri lulus tesnya. Selama ini Ayah sama Ibu selalu bilang tidak ada biaya untuk kuliah, jadi Bakri harus langsung kerja. Nah, mungkin ini sebuah jawaban atas keputus-asaan itu!”

“Iya, kakak tahu. Coba sekarang kamu pikir, seandainya kamu lulus tes terus kuliah di Pontianak. Biaya perbulannya saja berapa? Biaya untuk kamu makan di sana berapa, belum masalah lainnya. Seandainya mengirim uang juga lewat siapa? Lewat mana? Pontianak jauh dari sini tentu semua memberatkan Ibu. Kamu tahu sendiri pendapatan Ibu perbulannya. Ayah juga sudah tua, sudah saatnya istirahat dan kamu yang mencari nafkah.”

“Apa kamu yakin akan lulus tes?” tanyanya sinis.

“Insya Allah,” jawabku tegas.

“Bukan kakak bermaksud meremehkanmu, atau meragukan akan niatmu. Tapi, coba kamu pikir berapa dana yang akan kamu butuhkan untuk pergi ke Ketapang hanya sekadar untuk tes beasiswa. Dari sini ke Ketapang itu jauh! Mendaftar saja memakan biaya banyak. Biaya perjalanan kamu berapa? Makan dan menginap di sana berapa? Belum lagi kamu pergi pakai apa? Itupun belum pasti lulus. Bukankah kamu tahu, ayah dan ibu ekonominya susah. Mau dapat uang dari mana? Kakak? Kakak sekarang sudah bersuami, sudah punya anak, jadi biaya hidup kakak sudah dibagi-bagi.”

“Kak, Bakri yakin selama ada keinginan pasti akan ada jalan. Kenapa juga kita harus berpikir negatif? Bakri yakin akan lulus. Mengenai biaya, itu masalah belakang. Toh, Ibu bisa pinjam ke tetangga. Iyakan Bu? ” ungkapku sambil menatap Ibu yang hanya terdiam.

Namun sebelum Ibu menjawab, Kak Tina langsung saja menyambar dengan kata-kata pedasnya.

“Apa? Pinjam uang? Heh, kamu pikir pinjam uang itu gampang! Siapa yang akan mau memberi pinjaman pada keluarga kita? Tak ada yang bisa menjadi jaminan kelak Ibu bisa membayar hutang. Kita semua di sini orang susah. Sudahlah, batalkan niatmu!”

“Ada apa Bakri? Kenapa pagi-pagi begini sudah disidang?” tanya pamanku Jhoni. Entah berapa lama ia mendengarkan perdebatan pagi itu.

“Si Bakri itu mau ikut tes beasiswa di Ketapang. Padahal dia tahu Ibu tidak akan sanggup membiayai semuanya. Dia itu hanya bermodal nekad saja,” kata Kak Tina menimpali.

“Loh! Itu bagus! Kenapa harus dilarang. Berapa biaya pendaftarannya, Bakri?”

“Rp.300.000, Paman,” jawabku singkat.

“Kapan kamu berangkat?”

“Bakri pergi sama teman-teman, mereka juga ikut tes dan pergi hari Selasa. Pendaftaran terakhir hari Kamis, hari Sabtunya tes.”

“Bu, Tina, masalah biaya dan kendaraan Bakri biar saya yang urus. Kalian jangan mengekangnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Saya berani berkata begini karena pernah mengalami yang namanya kuliah. Dan betapa menyesalnya kini karena kuliah waktu itu tidak sampai selesai. Dan kamu Bakri, jangan kecewakan semua. Dari tekad dan niatmu itu buatlah semua menjadi bangga. Kamu yakinkan diri bahwa dalam niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.”

Lega kurasa. Bahagia karena setidaknya ada harapan untuk ikut tes. Hati yang semula tak mampu bermimpi karena lingkungan yang tak berpihak pada diri. Kini, cahaya harapan itu mulai memercikkan setitik harapan.

***

“Huh, ramai sekali pesertanya. Bahasa Indonesia saja sekitar 600 orang, padahal yang dipilih hanya 40 orang,” keluhku pagi itu. Pagi yang cerah sebagai penentu awal kuliah. Akankah? Entahlah! Yang jelas dalam tes ini akan kukerahkan seluruh kemampuan terbaikku.

Bel pun berbunyi. Setiap peserta masuk ke ruangan masing-masing. Peserta tes dari tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika sekitar 900 orang. Padahal dalam tes itu ‘kursi kosong’ untuk beasiswa hanya 120 kursi. Dengan perincian masing-masing mata pelajaran 40 orang. Aku lihat peserta yang di depan, belakang, samping kiri, dan kanan tidak ada yang kukenal sehingga tidak ada peluang untuk bertanya seperti di bangku SMA. “Ah, aku pasti bisa!” teriakku dalam hati meyakinkan diri.

Dengan penuh ketelitian dan pemikiran yang mendalam aku ‘lahap’ setiap butir soal bahasa Indonesia. Meskipun peserta yang begitu banyak dan tentunya pengetahuanku selaku orang desa pasti berbeda dengan mereka yang berasal dari kota, tapi aku tetap yakin dengan potensi diri. Semangat ’45 kukobarkan waktu itu. Hingga tanpa terasa bel yang ketiga kalinya berbunyi. Sebagai peringatan waktu tinggal 10 menit lagi.

“Huh, akhirnya selesai juga,” pikirku.

Bel tanda waktu habis pun berbunyi. Satu demi satu peserta keluar ruangan. Mencari teman masing-masing dan sibuk membahas soal yang baru saja dikerjakan. Jika jawaban yang dipilih mayoritas banyak pemilihnya, hati akan sedikit lega karena setidaknya itulah jawaban yang tepat.

Semua akkhirnya pulang ke tempat masing-masing. Tentu dengan sejuta pengharapan. Begitu juga aku. Tekad dan harapanku terus saja mengalir dalam setiap langkah dan doa. Tiga hari lagi pengumuman kelulusan akan disampaikan. Huh, tidak sabar rasanya.

Pada hari Senin, aku memutuskan untuk pulang kampung, karena persediaan keuanganku sudah semakin menipis. Kebetulan juga ada seorang teman yang ingin pulang. Sambil berpamitan kepada ketiga temanku, Aku memberikan nomor telpon tetanggaku.

“Nanti kalau pengumuman keluar, lihatkan namaku , jika tertera langsung hubungi nomor itu!” pintaku pada seorang teman.

***

Hari ini aku tidak memutuskan untuk pergi. Aku meutuskan untuk tinggal di rumah. Ya, itu aku lakukan karena hari ini adalah hari Rabu. Hari inilah pengumuman kelulusan akan disampaikan Pemda Ketapang.

Sesekali aku menanyakan ke tetangga apakah ada telpon masuk atau tidak yang memberitahukan mengenai pengumuman. “Belum ada,”begitulah jawabnya.

Aku semakin gelisah. Lulus atau tidak. Apa temanku melihatkan atau tidak. Ditengah penantianku telpon berdering. Dengan segera aku menghampiri Pak Ari, nama tetanggaku itu. “Halo ini siapa?” tanya Pak Ari.

Tanpa bisa mendengar suara siapa yang diseberang sana, aku hanya bisa menatap Pak Ari yang masih khusuk menyimak suara yang didengarnya.

“Oh, ini ada. Dia sudah menunggu dari tadi.” Jawab Pak Ari.

‘Serrrrr!’ darahku mengalir deras. Langsung kuambil gagang hanpon yang diberikan Pak Ari.

“Halo, Bakri selamat kamu lulus!” teriak di seberang sana.

“Kamu serius aku lulus! Coba kamu cek sekali lagi! Apa betul itu namaku!” pintaku masih belum yakin.

“Iya, kamu lulus. Tertera secara jelas diurutan nomor 17 atas nama Umar Bakri dengan nomor peserta 302, itu nomor kamukan?”

“Alhamdulillah, ya itu nomorku! Terima kasih atas informasinya,” ucapku seraya mematikan hanpon.

“AKU LULUS!” teriakku dalam tangis haru. Rasa tak percaya segalanya tak sia-sia!

Keluargaku yang semula tidak mendukung akhirnya merespon positiv atas kelulusanku. Acara syukuran pun diselenggarakan lagi. Semua hanyut dalam kebahagiaan. Terutama Ibu dan Ayah, mereka sangat bangga padaku. Ya, aku lulus pada urutan 17 dari 600 pendaftar. Dari lima teman yang sama-sama mengikuti tes ini hanya aku dan seorang teman yang mengikuti tes bahasa Inggrislah yang lulus. Terima kasih keluargaku, terima kasih Ya Allah, mimpi itu ternyata tidak sia-sia. Hore! tidak lama lagi aku akan menyandang gelar mahasiswa. “Aku akan datang untukmu Universitas Tanjungpura! Akan kugali semua ilmu yang kau tanam di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan! Aku datang sebagai Mahasiswa Ikatan Dinas Kabupaten Ketapang! Aku cinta bahasa Indonesia!”***

Cerpen Terbaik 2010 (he, he, he, versi penulis sendiri)

[Enter Post Title Here]

SI BEGUL DAN MOTOR BARU

Oleh: Suryadi

P

ada suatu hari Si Begul girang bukan kepalang, apa sebab? Dia “ditimpa durian runtuh” alias “dapat rejeki nomplok”, bagaimana itu terjadi? Dia mendapatkan hadiah motor dari sang Ayah atas kesuksesannya lulus sekolah. Ya, Si Begul baru saja lulus SMA walaupun prestasinya di sekolah sangat buruk. Mungkin itulah yang membuat Ayahnya berinisiatif memberinya hadiah istimewa. Sebuah sepeda motor Thunder keluaran terbaru yang memang selama ini diimpikan Begul.

Otomatis si Begul tersenyum tanpa henti. Ya, dia begitu gembira. Apa lagi motor barunya itu akan menjadi modal awalnya untuk “menggaet” pujaan hatinya, Lela. Gadis cantik yang selama ini dikaguminya, hanya saja tidak ada modal penyokong kepercayaan dirinya. Prestasi rendah dan keuangan juga pasrah. Otomatis kepercayaan dirinya “melempem” alias “layu” alias “lemah”. Akan tetapi kini tentu berbeda.

“Yes!” teriaknya kegirangan.

Sore itu, tatkala matahari mulai condong ke arah barat, Begul pergi menikmati jalan sore tentunya sambil mencoba tunggangan barunya. Semakin lengkaplah kebahagiaan Begul, ia kini tidak lagi jalan kaki menyusuri jalan yang ia lalui sekarang ini seperti hari-hari sebelumnya, ditambah lagi banyak cewek yang sedang joging meliriknya sambil tersenyum. Begul pun hanya tersenyum manis membalasnya. “Yes!’ teriaknya lagi, seolah-olah ia yakin Lela pun akan terpikat padanya seperti para gadis yang tersenyum padanya.

Setelah lama berkeliling menyusuri jalan aspal yang berliku, Begul pun berhenti di sebuah warung kopi yang berseberangan dengan sebuah mini market. Warkop ini merupakan tempat dulu biasa Begul berhenti sepulang sekolah untuk minum es sebagai penghapus dahaga. Akan tetapi kali ini ia tidak memesan teh es seperti biasanya, mungkin karena ia tidak dahaga dan keletihan seperti biasanya.

“Teh hangat segelas, Bang!”

“Tumben!” celetuk pemilik Warkop.

Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas yang berisi teh, pemilik Warkop bertanya pada si Begul,

“Wah, motor baru ya, Gul?”

“Iya, hadiah dari Ayah atas kelulusanku. Ah, tapi dari mana Abang tahu itu motor baru?” tanya Begul sambil tersenyum girang.

“Loh, motor baru yang pasti masih kinclong dan lihat, platnya saja masih berwarna merah begitu, KB 512 XX he, he, he!”

Begul hanya tersenyum mendengar jawaban pemilik warkop itu.

“Begul, hati-hati sekarang ini banyak curanmor!”

“Curanmor itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.

“Pencurian sepeda motor. Ah, kamu ini lulus SMA tapi curanmor saja tidak tahu.”

“O, pencurian sepeda motor!” ungkap Begul mengulangi seolah-olah lupa dengan sindiran Bang Warkop.

“Beberapa hari yang lalu di depan mini market itu ada yang kehilangan sepeda motor. Padahal baru ditinggal berbelanja sebentar sama yang punya dan motor itu dalam kondisi telah dikunci stang.”

“Lihat saja poster yang dipajang polisi itu! Ya, walaupun himbauan itu terpasang setelah semua terjadi tapi apa salahnya mengingatkan agar tidak terulang lagi,” sambung Bang Warkop.

Begul kemudian membaca poster yang dimaksud Bang Warkop tadi.

“PARKIRLAH KENDARAAN ANDA DI TEMPAT YANG AMAN DAN GUNAKAN KUNCI GANDA.”

“Kunci ganda itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.

“Kunci ganda itu maksudnya kunci tambahan selain kunci kontak atau kunci stang. Misalnya diberi alarm atau ada letak kunci rahasianya. Yang jelas harus lebih dari satu kunci.”

“O,” kata Begul sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Sasarannya selalu motor yang bagus, Gul!”

“Wah, berarti motorku terancam. Wah, gawat!” pikir Begul.

***

Sesampainya di rumah, Begul langsung memasukkan motornya ke dalam rumah. Ia tidak mau jadi bagian dari kisah korban curanmor. Ia teringat pesan Bang Warkop dan poster yang berisikan pesan polisi tadi sore itu.

Ia kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Di kamarnya yang sempit itu, ia berpikir keras mencari akal agar motornya aman dari tindakan kriminal tak bertanggung jawab para curanmor.

“Hemm, bagaimana kalau diberi alarm saja,” pikirnya.

“Ah, tapi pasti perlu dana banyak.”

“Huhh!” keluhnya.

“Minta uang pada Ayah, tidak mungkin. Syukur-syukur sudah dibelikan motor.” Gerutunya dalam hati.

Lama Begul berpikir di dalam kamarnya. Lama ia memaksakan IQ-nya yang rendah untuk mengeluarkan energi sebagai pemberi cahaya pada lampu idenya. Lama ia memaksakan itu. Mungkin ia lupa bahwa pemerintah akan menaikkan tarif dasar listrik atau TDL. Namun tidaklah sia-sia, karena lampu idenya memberikan solusi juga.

“Ahaaa!” teriak Begul penuh kemenangan karena merasa idenya cukup cemerlang.

Malam itu juga Begul melancarkan aksi untuk mewujudkan ide cemerlangnya. Ia keluarkan motor yang telah ia “kandangkan” di dalam rumah.

“Mau kemana, Gul?”

“Mau ke tempat Datuk Marijan, Yah!”

“Hei, ada perlu apa kau ke sana malam-malam begini?”

Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban dari Si Begul karena ia dan motor barunya telah melesat jauh dalam kegelapan, kini hanya terlihat nyala merah lampu belakangnya saja dan mulai hilang ditikungan jalan.

***

Ruangan itu cukup gelap, berukuran 3x3 m2. Ada meja persegi panjang yang dihiasi taplak meja dari kain hitam. Hanya remang-remang cahaya lilin saja sebagai penerangnya. Seketika baru memasuki ruangan, semerbak bau kemenyan akan menyerang hidung, cukup menyengat. Ada tanah liat yang berbentuk mangkuk kecil yang berisi bara api, di sanalah kemenyan-kemenyan itu dibakar. Ada keris berdiri tegak di antara asbak kemenyan dan mangkuk yang berisi air. Di ujung meja ada mangkuk besar yang berisi bunga tujuh rupa. Sosok tua yang memiliki kumis lebat dan berpakaian serba hitam tengah duduk bersila di hadapan Begul yang dibatasi meja. Dialah Datuk Marijan si dukun sakti yang berasal dari Kabupaten Ketapang itu.

“Begini Tuk, e...e...mak...sud....”

“Saya sudah tahu maksud kedatanganmu anak muda,” kata Datuk Marijan memotong pembicaraan Begul.

“Tidak salah lagi,” pikir Begul. Orang yang ia tuju benar-benar hebat. Buktinya sebelum Begul menceritakan maksud kedatangannya saja, dukun itu telah mengetahuinya. Kali ini juga Begul membuktikan sendiri kehebatannya karena selama ini ia hanya mendengar cerita dari teman-temannya di sekolah saja tentang dukun sakti itu.

“Berapa lama kamu memiliki motor itu?”

“E...e...belum ge...nap seha...ri, Tuk,” jawab Begul terbata-bata.

“Jadi, kamu mau saya apakan motormu itu?”

“Ah, tadi katanya sudah tahu, gimana sih nih dukun?!” gerutu Begul dalam hati.

“E...e...begi...ni Datuk, saya mau motor saya jangan terlihat menarik atau kelihatan bagus di mata orang kecuali oleh keluarga saya.

“Ha, ha, ha, perkara mudah itu!” kata dukun menyombongkan diri sambil mengelus-elus kumis hitamnya. Ia lalu memejamkan mata, mulutnya mulai komat-kamit membaca mantra sambil menaburi kemenyan di atas bara dalam mangkuk tanah liat di hadapannya.

Angin mulai berhembus tak beraturan. Membuat bulu kuduk Begul berdiri, ia menggigil karena merinding tapi ia hanya diam menatap ulah dukun di hadapannya. Air dalam mangkuk juga mulai bergoyang-goyang menciptakan riak-riak kecil.

Datuk Marijan lalu menaburkan bunga tujuh rupa ke dalam mangkuk itu. Kemudian mulutnya kembali komat-kamit membaca mantra. Sekitar lima menit kemudian...,

“Buurrrrrr!” bunyi semburan Datuk Marijan ke arah mangkuk sambil diikuti gerakan kedua telapak tangannya seolah memberikan tenaga megis ke dalam mangkuk yang berisi air dan kembang tujuh rupa itu.

Air itu lalu ia masukkan ke dalam botol bekas air mineral, tidak lupa sambil komat-kamit tentunya.

Lalu botol itu ia serahkan pada Begul. Seraya memberikan resep,

“Besok pagi, sebelum matahari terlihat atau menyembul dari arah timur kamu harus memandikan motormu menggunakan air itu.”

“Baik, Datuk.”

“Jika kamu telat, akibatnya akan fatal,” ancam dukun.

“Baik, Datuk.”

Seusai registrasi, Begul langsung pulang ke rumahnya. Tentu kali ini senyumnya semakin merekah penuh kebanggaan karena ide cemerlangnya berhasil ia wujudkan.

***

“Kukuruyuuukkk,” teriak ayam jago membangunkan Begul dari buaian mimpinya. Ia mencoba membuka jendela kamarnya untuk memastikan apakah matahari telah menyembul atau belum. Menyadari hari telah mulai pagi Begul bergegas mengambil botol yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tadi malam.

Dengan langkah penuh kemenangan Begul menghampiri motor barunya.

“Aduuuh, bagaimana cara mencucinya?” pikir Begul.

“Apakah air ini dicampurkan ke dalam ember yang berisi air atau sekadar dilapkan saja?” gerutunya.

Akhirnya Begul hanya memerciki motornya dengan air mineral dari Datuk Marijan. Setelah selesai prosesi ritualnya, ia kemudian menjemur motornya, sambil menanti munculnya sang surya.

“E...e...rajinnya anak Ayah, pagi-pagi sudah memandikan motor, tapi jangan lupa mandikan juga orangnya,” celetuk Ayah Begul sepulang dari masjid dekat rumahnya.

Begul hanya tersenyum manis membalas pujian sang Ayah.

***

Sore harinya Begul memulai aksinya lagi berkeliling menggunakan motor barunya. Satu, dua, tiga, cewek yang sedang joging ia lalui namun kali ini berbeda dari harinya kemarin. Gadis-gadis itu hanya menantap Begul keheranan. Ada juga yang melihatnya tersenyum, hanya saja senyum memperolok. Mungkin mereka berpikir tak sesuai dengan dandanan si pemakai yang berpakaian rapi, minyak rambut yang begitu mengkilap, dan sepatu. Tentu hal ini mengecewakan hati Begul. Ada apa dengan dirinya? Mengapa belum genap dua hari ia memiliki motor baru, para gadis-gadis yang semula senyum padanya kini berubah. Ada apa ini? Tanya itu terus berkecamuk dalam benak Begul, sampai akhirnya ia berhenti di tempat kemarin, warung kopi.

Bang Warkop juga menatap Begul keheranan. Begul pun semakin bertanya-tanya ada apa sebenarnya ini? Belum sempat ia memesan minuman dan mempertanyakan keheranannya ia telah dikejutkan oleh suara Bang Warkop.

“Motor siapa yang kau pakai, Gul?”

“Motor saya ‘lah, Bang!”

“Eh, Motor baru yang kemarin kemana?”

Begul mengerutkan keningnya karena semakin bingung dengan semua itu. Bukankah motor yang ia kenakan adalah motornya yang kemarin? Ah, ada apa ini?

“Kau jual atau tukar tambah, Gul?”

Begul semakin tak mengerti dan diam membisu.

“Hanya karena takut curanmor motor barumu kau jual? Sayanglah, Gul, Gul!?”

Begul hari itu tidak jadi memasan minuman, ia langsung bergegas pulang ke rumahnya membawa sejuta tanya. Akan tetapi dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Lela pujaan hatinya. Tentu ia langsung memasang gaya sambil menghampiri gadis yang sedang joging itu.

“Hai, Lela,” sapa Begul memulai aksinya dari atas motor.

“Ikut Abang yok!”

Namun Lela tidak mengubris ajakan Begul ia tetap berlari kecil tanpa menoleh sedikit pun.

“Ayolah Lela, sambil mencoba motor baru Abang!” rayu Begul.

“Huh, motor jelek begitu! Nggak level!” kata Lela.

“Ini motor baru kok, lihat saja masih kinclong, dan platnya saja masih berwarna merah! Motor ini baru dibelikan kemarin sama Ayah.”

“Matamu buta, Ya!” olok Lela.

Uh, betapa sakit dan pilunya hati Begul. Ia tidak habis pikir gadis pujaan hatinya pun memperoloknya. Gagal sudah harpannya, pupus bersama kebingungannya. Kini yang tersisa hanyalah gejolak tanya, ada apa sebenarnya? Mengapa mereka semua memperolok motor barunya? Begul tetap tak menemukan jawaban atas tanya itu. Mungkin IQ-nya yang rendah tak mampu menuntunnya pada sebuah jawaban yang jelas. Mungkin juga otaknya tak secemerlang saat ia menemukan ide untuk membuat motornya aman dari tindakan tak bertanggung jawab para curanmor. “Jika membeli kunci ganda aku tak mampu, ah, aku minta bantuan Datuk Marijan saja. Aku minta ajian supaya motorku tak terlihat menarik dihadapan orang-orang yang berniat jahat mencuri motorku. Bukankah Datuk Marijan terkenal sakti.”

***

Kini Begul terbaring pilu di dalam kamarnya yang sempit. Harapannya pada motor barunya sebagai sarana memikat hati Lela gagal sudah. Ia tatap lekat-lekat flapon rumahnya walau pun pandangannya kosong tak bermakna. Sepertinya ia telah putus asa untuk memaksakan IQ-nya yang rendah untuk ‘membedah’ segala tanya yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Apa lagi masalah Si Begul kalau bukan mengenai motor barunya yang kini tidak bermutu di hadapan orang-orang.

“Ah, tapi mengapa kata Ayah motorku tetap bagus dan tidak berubah sedikit pun.”

“Ah, Ibu juga mengatakan motorku semakin terlihat kinclong, semenjak aku pulang dari rumah Datuk Marijan.”

“Ah, jadi mengapa orang-orang mengatakan motorku jelek? Apa alasan mereka? Keluargaku atau mereka yang salah lihat?”

“Ah, pusing!” pikir Begul.

Bagul kemudian berhenti sejenak dari kegiatan “peneletian” penyebab dalam tanya yang ‘meracuni’ hati dan pikirannya. Ia menerawang lagi langit-langit kamarnya. Berpindah dari satu objek pandangan ke objek yang lain. Selesai memandang kedua cicak yang sedang bermesraan di flapon kamarnya yang sempit ia beralih ke pentilasi, lalu jendela, kemudian berpindah pada meja belajarnya yang dihiasi tumpukan buku.

“Huhh”, hembus napasnya berat.

Ia lalu menatap lemari usang yang berdiri tegap di hadapannya. Ia pandangi guratan-guratan tua di wajah pintunya. Ya, lemari itu terlihat kusam. Warna catnya saja sudah memudar. Ia pandangi dari bawah sampai ke atas lemari itu. Sampai akhirnya ia berhenti dan berfokus pada satu objek benda. Benda itu “terduduk” indah di atas lemari itu. Bentuknya lonjong dan memiliki guratan-guratan namun bukanlah guratan tanda penuaan. Ada label melingkar di pucuk benda itu, mungkin itu adalah “pakaiannya” karena hanya itulah penutup tubuhnya. Lama Begul tertegun menatap benda itu. Sampai akhirnya ia tersenyum sendiri. Matanya berbianar-binar bercahaya seolah-olah ia menemukan intan permata yang lama terpendam di dasar bumi.

“Ahaaa,” teriaknya kegirangan.

“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang!” gumam Begul sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ia lalu bangkit dari pembaringannya. Ia gapai benda yang mampu mengantarkan IQ-nya yang rendah itu pada sebuah jawaban yang jelas dan tepat. Ia pandangi dan genggam dengan erat.

“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang, kamulah penyebabnya!” geram Begul.

“Akan kubakar kau! Kaulah pembawa sialku!”

“Botol jahanam!” teriak begul sambil memabanting botol air mineral yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tempo hari.

“Ah, haruskah aku membakarnya? Mempersalahkannya? Apa botol ini memang benar-benar bersalah dan pantas dipersalahkan?”

“Ah! Datuk sialan itulah yang salah! Dia yang telah memberiku ramuan dalam botol ini!”

“Ya, sialan dukun itu! Dialah penyebab semua ini! Akan kubakar rumah perdukunannya!” geram Begul sambil meremas botol yang ia gegam kembali.

“Ah, pantaskah itu kulakukan? Apakah dia benar-benar penyebab semua ini? Apakah Datuk Marijan pantas dipersalahkan?”

“Bukan!” teriak batinnya.

“Ya! Dia tidak pantas dipersalahkan! Lalu siapa yang bersalah?”

Begul kemudian merebahkan badannya kembali, “Lalu siapa yang bersalah?” tanya Begul lagi pada dirinya.

“Aku!”

“Ya, akulah yang bersalah! Akulah yang meminta Datuk Marijan memberiku ramuan agar motorku aman dari tindakan jahanam para curanmor!”

“Ah, tapi itu aku lakukan karena bajingan curanmor yang selalu meresahkan masyarakat! Bajingan! Sampah masyarakat mereka! Kalau bukan karena mereka tidak mungkin aku sebodoh ini? Sampai meminta ajian pada Datuk Marijan! Ya, merekalah yang pantas dipersalahkan dan diberantas! Musnahkan saja mereka, agar tidak ada yang harus bersusah payah mencari akal untuk mengamankan kendaraan mereka! Jika para curanmor musnah, pemilik kendaraan bermotor tentu akan tenang dan tidak resah!”

“Lalu siapakah yang dapat memusnahkan mereka? Polisi? Ah, yang kutahu polisi hanya memajang poster saja! Aku? Apa dayaku? Mungkinkah Masyarakat? Lalu dengan cara apa? Apa masyarakat ramai-ramai datang pada Datuk Marijan meminta ajian keselamatan? Ah, itu sama saja dengan pembodohan masal! Ah, ke kantor polisi saja! Tuntut kinerja polisi untuk maksimal memberantas pelaku bejat para curanmor itu! Mungkinkah itu akhirnya akan berhasil mengantarkan kata “aman” dan “ketenangan” di hati masyarakat? Ah, atau Pencipta mereka saja, tentu akan lebih bijak mengatasi semua ini!?” Celoteh Begul sambil tersenyum sendiri dalam kamarnya yang sempit.

“Ah, aku berdoa saja pada Pencipta mereka, agar mereka para curanmor disadarkan dan kembali pada fitrah kemanusiaan dan aku berdoa agar Datuk Marijan tidak mengamalkan ilmu kesesatan! Yang terpenting aku harus berdoa untuk keselamatan jiwaku, keluargaku, dan tentunya kesalamatan motor baruku. Kurasa itu adalah solusi yang tepat untukku lakukan! Segala sesuatu yang kumiliki saat ini hanyalah titipan dari-Nya. Harta tidaklah abadi dan kubawa mati. Aku lahir tidak membawa apa-apa, tentu aku kembali tidak membawa apa-apa pula kecuali tiga perkara ilmu yang bermanfaat, amal jariah, dan doa anak yang soleh. Setidaknya itulah pesan guru agamaku diwaktu SMA! Motor baruku suatu saat akan musnah karena dia tidaklah kekal.”

Begitulah kisah Begul dan motor barunya. Akhirnya Begul tersadarkan bahwa segala sesuatu harus diserahkan dan dipasrahkan kepada Sang Pencipta karena itu jauh lebih aman dan menenangkan. Namun satu pesan Begul, “Jangan hanya berdoa tapi berusahalah, asalkan jangan berusaha mendatangi orang-orang seperti Datuk Marijan karena itu hanya perbuatan yang sia-sia, kesyirikan, dan kebodohan yang nyata.” ***