Jumat, 23 Juli 2010

Cerpen terbaik ke lima pada lomba penulisan cerpen Hardiknas 2010 Universitas Tanjungpura FKIP Untan

[Enter Post Title Here]

“TAK SIA-SIA”

Oleh: Suryadi Abdillah H.

Saat kuterdiam seperti ini. Merenungi semua yang telah terlewati. Tidak ada yang lebih mengesankan batinku, tidak ada yang bisa membuat senyumku mengembang, dan tidak ada yang membuat lidahku sepontan berucap syukur pada-Nya, kecuali bayang perjuanganku menjadi mahasiswa, menjadi orang yang menuntut ilmu di dunia pendidikan yang lebih tinggi seperti saat ini.

Setelah kelulusanku, tidak ada lagi harapan orang tuaku untuk menyekolahkanku di perguruan tinggi. Tidak ada. Bahkan terbesit dalam benak mereka juga kurasa tidak. Yah, maklumlah selain keduanya tidak mengenyam dunia pendidikan di usia muda, keterbatasan biaya juga yang semakin memupuskan harapan, mengikat hati untuk tidak bermimpi yang lebih tinggi.

Sebelum pengumuman kelulusan pun, telah jauh-jauh hari keduanya memberiku sebuah pesan ‘keramat’, yaitu “Setelah lulus nanti kamu langsung kerja ya. Bantu Ayah dan Ibu mengurus kebun sawit. Bila perlu nanti dengan ijazah SMA kamu itu, tentu bisa menjadi modal untuk melamar kerja sebagai mandor di perusahan sawit tempat Ibumu bekerja.” Itulah pesan yang selalu ‘dinyanyikan’ keduanya saat kami bercengkrama.

Aku paham atas sikap mereka yang sepereti itu. Aku bisa memaklumi mereka. Dan tidak ada yang dapat kuperbuat selain mengiyakan dan menganggukkan kepala sebagai bentuk persetujuan dan penghormatanku pada mereka.

Bukan kuputus asa! Bukan! Tidak juga karena aku tak punya harapan dan mimpi seperti orang kebanyakan. Aku hanya sadar akan diri, bemimpi tentu hak setiap orang. Berharap tentu lumrah saja untuk jiwa yang bernyawa. Tapi jati diri ini yang semakin mendukung diri untuk tidak mampu mengelak dari suratan takdir. Diri yang masih belum memenuhi standar hidup layak, membuat siluet gambar mimpi yang baru remang-remang terkoyak. Dan hilang tak membekas.

‘Kejarlah cita-citamu setinggi langit,’ semboyan itulah yang selalu dilontarkan guru untuk menyemangati murid-muridnya untuk mengejar cita-cita, hanya saja teman-teman selalu menambahkan kata-kata, “tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit!” dan jika guru telah selesai menorehkan ilmu di tiap-tiap otak siswanya, kemudian kembali ke kantor untuk sekadar minum air putih sebagai penyegar tenggorokannya yang kering, maka selanjutnya murid-murid akan berteriak, “kejarlah ilmu setinggi langit, tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit”. Kontan saja sekelas gaduh oleh tawa.

Mungkin gurauan itulah yang telah terekam dalam otakku, dan menjadikan aku berpikir ada benarnya juga. Jika aku ingin mengejar cita-cita menjadi seorang pendidik, tapi ekonomi keluarga saja masih di bawah standar hidup layak, bagaimana aku bisa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pastinya bagaimana aku bisa menggapai cita-cita itu! Bukankah itu impian yang terlampau tinggi bagiku? Kalau tidak gila maka akan setres! Ya, bisa saja seperti kebanyakan pejabat yang tidak terpilih akhirnya ‘ngedrop’ kejiwaannya karena bisa saja mimpinya terlampau tinggi untuk ia raih. Tak sesuai dengan potensi diri dan kelayakan diri. Aku tidak ingin merasakan sakit, karena ngotot meraih mimpi yang tak sesuai. Itulah yang membuatku semakin layu dan takluk pada apa saja yang terjadi dan yang dikehendaki.

Setelah pengumuman kelulusan itu, bukan main senangnya hati. Aku lulus! Itu yang membuat aku, orang tuaku, keluargaku, dan teman-temanku bangga kepadaku. Memang aku tergolong pendiam di kelas. Tidak nakal, tidak usil dengan sesama, dan tidak juga suka membolos seperti teman-temanku kala itu. Apalagi melawan guru, seperti kebanyakan temanku dan kini harus menerima karma tak lulus ujian. Tak ada keburukan yang akan kita peroleh kecuali dari tingkah laku kita sendiri. Itulah pesan Ayah kala menasihatiku. Jadi, walaupun standar nilai kelulusan rendah, tinggi, maupun sedang, tapi jika kita tidak menghormati sumber ilmu, tidak akan diridhoi oleh yang empunya ilmu, dan sudah bisa dipastikan kelulusan hanyalah sebuah angan belaka.

Aku memang tak pernah juara. Bukan karena aku bodoh! Melainkan karena aku malas belajar. Tak ada orang bodoh di dunia ini. Semua terlahir dengan kelebihan dan kekurangan. Sungguh mustahil manusia yang derajatnya lebih sempurna dibandingkan dengan mahluk yang tercipta lainya namun ditakdirkan bodoh. Dilahirkan untuk bodoh. Tidak! Kurasa tidak. Mustahil pula kelebihan yang ditakdirkan untuk seseorang itu kebodohan. Kelebihan “bodoh”. Tak logis! Kebanyakan manusia itu malas. Dan itu kurasakan bersemayam dalam diri ini. Aku tak ingin munafik. Aku tak ingin sok, tapi jujur kuakui di bangku SMA aku malas. Malas untuk belajar.

Kesadaran akan potensi diri saat beberapa hari menjelang ujian. Ketekunan belajar meningkat 180. Dan hasilnya aku lulus dengan menduduki peringkat tiga. Yah, setidaknya ada peningkatan. Bukankah manusia yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari harinya yang kemarin!

Acara syukuran pun diselenggarakan di rumahku. Jangan terbayang masakan lezat. Jangan pula terbayang minuman segar seperti es teler, apalagi ala restoran. Wah, sangat berbeda. Mungkin disebut syukuran ala kadarnya.

***

“Bakri! Sapa Ayah pagi itu.

“Suami kakakmu yang sekarang bekerja di perusahaan sawit sebagai asisten kantor, kemarin mengatakan di sana ada lowongan pekerjaan. Nah, daripada kamu menganggur seperti teman-temanmu yang putus sekolah itu, tentu alangkah lebih baik jika kamu ajukan saja lamaran ke sana,” sambung Ayah di sela menghirup kopinya.

“Bakri sih terserah Ayah dan Ibu. Jika meridhoi Bakri bekerja di sana, ya Bakri akan jalani itu.”

“Loh, ya pasti orang tua ridho. Bukankah Ayah dan Ibu jauh-jauh hari sudah mengatakan, kamu harus langsung kerja.”

“Oh ya Ayah, Bakri lupa cerita, kemarin waktu Bakri mengambil ijazah di sekolah, kata kepala sekolah, Pemda Ketapang membuka peluang beasiswa. Ada tiga program, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sama Matematika. Biaya pendaftarannya Rp 300.000. Pesannya sih peluang ini jangan sampai di lewatkan. Dan ada lima teman Bakri yang sudah siap pergi.”

“Beasiswa apa?” tanya Ayah tak mengerti.

“Beasiswa kuliah di Universitas Tanjungpura, Yah! Jika Bakri lulus tes ini, nanti kuliahnya dibiayai pemerintah.”

Pembicaraan pagi itu cukup singkat karena Ayah harus segera pergi bekerja. Sikap Ayah dan Ibu juga tidak berubah, tetap tak mengerti. Ya, mungkin mereka benar-benar tidak punya mimpi untuk anaknya ini.

***

Keesokan harinya, tepatnya hari Minggu, pamanku yang bekerja di perusahaan PT HSL sebagai mandor karyawan pulang ke kampungku. Pamanku Jhoni memang dua minggu sekali pulang. Demikian juga kakakku pulang bersama suaminya. Suaminya bekerja di Perusahaan yang sama dengan paman Jhoni, hanya saja yang membedakanya adalah lokasi tempat bekerjanya. Suami kakakku bekerja di bidang harves it sebagai asistennya. Jadi dua minggu sekali di rumahku selalu ramai, karena semua keluarga berkumpul.

Setiap dua minggu sekali gelak tawa selalu membahana. Paman Jhonilah yang selalu membuat semua tertawa, memang pamanku yang satu ini pandai sekali melucu. Apalagi setelah bertemu paman Sahti semakin seru mereka bercerita lucu-lucu. Yang membuat suasana menjadi ceria.

“Bu apa betul katanya Bakri mau kuliah?”tanya kakakku sambil membantu Ibu di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga.

“Ia, cuma Ibu masih bigung mengenai biayanya, kamu tahu sendiri perekonomian Ibumu ini. Adikmu, Haerul, terkadang pergi ke sekolah saja tidak dikasih uang jajan, bukan karena pelit tapi memang Ibu tidak ada simpanan uang”

“Bagaimana dengan Bakri, Bu?”

“Adikmu bilang dia mau tes saja dulu. Nanti kalau lulus tes beasiswa di Ketapang berarti dia kuliah di Pontianak dan dibiayai pemerintah. Sebenarnya Ayah sama Ibu mau dia bekerja saja, tapi adikmu itu sudah diberi pesan sama kepala sekolah untuk mengikuti tes itu, peluang besar katanya. Ah, entalah Ibu tidak mengerti!”

“Ya sudah nanti saya yang bicara langsung sama dia.”

Setelah mengganti pakaian aku bergegas ke dapur untuk membantu Ibu. Aku lihat Kak Tina juga sudah dari tadi nampak membantu Ibu.

“Bakri bisa bantu apa nih?!” tegurku sambil mendekati Kak Tina yang sedang meracik bumbu.

“Parutkan Ibu kelapa,” jawab Ibuku sambil memberikan kelapa yang sudah siap untuk diparut.

“Bakri, kakak dengar katanya kamu mau kuliah?”tanya kakakku sambil memandangku penuh selidik.

“Bakri memang mau kuliah, pas sekarang ini juga ada tes beasiswa dari Pemda Ketapang. Siapa tahu Bakri lulus tesnya. Selama ini Ayah sama Ibu selalu bilang tidak ada biaya untuk kuliah, jadi Bakri harus langsung kerja. Nah, mungkin ini sebuah jawaban atas keputus-asaan itu!”

“Iya, kakak tahu. Coba sekarang kamu pikir, seandainya kamu lulus tes terus kuliah di Pontianak. Biaya perbulannya saja berapa? Biaya untuk kamu makan di sana berapa, belum masalah lainnya. Seandainya mengirim uang juga lewat siapa? Lewat mana? Pontianak jauh dari sini tentu semua memberatkan Ibu. Kamu tahu sendiri pendapatan Ibu perbulannya. Ayah juga sudah tua, sudah saatnya istirahat dan kamu yang mencari nafkah.”

“Apa kamu yakin akan lulus tes?” tanyanya sinis.

“Insya Allah,” jawabku tegas.

“Bukan kakak bermaksud meremehkanmu, atau meragukan akan niatmu. Tapi, coba kamu pikir berapa dana yang akan kamu butuhkan untuk pergi ke Ketapang hanya sekadar untuk tes beasiswa. Dari sini ke Ketapang itu jauh! Mendaftar saja memakan biaya banyak. Biaya perjalanan kamu berapa? Makan dan menginap di sana berapa? Belum lagi kamu pergi pakai apa? Itupun belum pasti lulus. Bukankah kamu tahu, ayah dan ibu ekonominya susah. Mau dapat uang dari mana? Kakak? Kakak sekarang sudah bersuami, sudah punya anak, jadi biaya hidup kakak sudah dibagi-bagi.”

“Kak, Bakri yakin selama ada keinginan pasti akan ada jalan. Kenapa juga kita harus berpikir negatif? Bakri yakin akan lulus. Mengenai biaya, itu masalah belakang. Toh, Ibu bisa pinjam ke tetangga. Iyakan Bu? ” ungkapku sambil menatap Ibu yang hanya terdiam.

Namun sebelum Ibu menjawab, Kak Tina langsung saja menyambar dengan kata-kata pedasnya.

“Apa? Pinjam uang? Heh, kamu pikir pinjam uang itu gampang! Siapa yang akan mau memberi pinjaman pada keluarga kita? Tak ada yang bisa menjadi jaminan kelak Ibu bisa membayar hutang. Kita semua di sini orang susah. Sudahlah, batalkan niatmu!”

“Ada apa Bakri? Kenapa pagi-pagi begini sudah disidang?” tanya pamanku Jhoni. Entah berapa lama ia mendengarkan perdebatan pagi itu.

“Si Bakri itu mau ikut tes beasiswa di Ketapang. Padahal dia tahu Ibu tidak akan sanggup membiayai semuanya. Dia itu hanya bermodal nekad saja,” kata Kak Tina menimpali.

“Loh! Itu bagus! Kenapa harus dilarang. Berapa biaya pendaftarannya, Bakri?”

“Rp.300.000, Paman,” jawabku singkat.

“Kapan kamu berangkat?”

“Bakri pergi sama teman-teman, mereka juga ikut tes dan pergi hari Selasa. Pendaftaran terakhir hari Kamis, hari Sabtunya tes.”

“Bu, Tina, masalah biaya dan kendaraan Bakri biar saya yang urus. Kalian jangan mengekangnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Saya berani berkata begini karena pernah mengalami yang namanya kuliah. Dan betapa menyesalnya kini karena kuliah waktu itu tidak sampai selesai. Dan kamu Bakri, jangan kecewakan semua. Dari tekad dan niatmu itu buatlah semua menjadi bangga. Kamu yakinkan diri bahwa dalam niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.”

Lega kurasa. Bahagia karena setidaknya ada harapan untuk ikut tes. Hati yang semula tak mampu bermimpi karena lingkungan yang tak berpihak pada diri. Kini, cahaya harapan itu mulai memercikkan setitik harapan.

***

“Huh, ramai sekali pesertanya. Bahasa Indonesia saja sekitar 600 orang, padahal yang dipilih hanya 40 orang,” keluhku pagi itu. Pagi yang cerah sebagai penentu awal kuliah. Akankah? Entahlah! Yang jelas dalam tes ini akan kukerahkan seluruh kemampuan terbaikku.

Bel pun berbunyi. Setiap peserta masuk ke ruangan masing-masing. Peserta tes dari tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika sekitar 900 orang. Padahal dalam tes itu ‘kursi kosong’ untuk beasiswa hanya 120 kursi. Dengan perincian masing-masing mata pelajaran 40 orang. Aku lihat peserta yang di depan, belakang, samping kiri, dan kanan tidak ada yang kukenal sehingga tidak ada peluang untuk bertanya seperti di bangku SMA. “Ah, aku pasti bisa!” teriakku dalam hati meyakinkan diri.

Dengan penuh ketelitian dan pemikiran yang mendalam aku ‘lahap’ setiap butir soal bahasa Indonesia. Meskipun peserta yang begitu banyak dan tentunya pengetahuanku selaku orang desa pasti berbeda dengan mereka yang berasal dari kota, tapi aku tetap yakin dengan potensi diri. Semangat ’45 kukobarkan waktu itu. Hingga tanpa terasa bel yang ketiga kalinya berbunyi. Sebagai peringatan waktu tinggal 10 menit lagi.

“Huh, akhirnya selesai juga,” pikirku.

Bel tanda waktu habis pun berbunyi. Satu demi satu peserta keluar ruangan. Mencari teman masing-masing dan sibuk membahas soal yang baru saja dikerjakan. Jika jawaban yang dipilih mayoritas banyak pemilihnya, hati akan sedikit lega karena setidaknya itulah jawaban yang tepat.

Semua akkhirnya pulang ke tempat masing-masing. Tentu dengan sejuta pengharapan. Begitu juga aku. Tekad dan harapanku terus saja mengalir dalam setiap langkah dan doa. Tiga hari lagi pengumuman kelulusan akan disampaikan. Huh, tidak sabar rasanya.

Pada hari Senin, aku memutuskan untuk pulang kampung, karena persediaan keuanganku sudah semakin menipis. Kebetulan juga ada seorang teman yang ingin pulang. Sambil berpamitan kepada ketiga temanku, Aku memberikan nomor telpon tetanggaku.

“Nanti kalau pengumuman keluar, lihatkan namaku , jika tertera langsung hubungi nomor itu!” pintaku pada seorang teman.

***

Hari ini aku tidak memutuskan untuk pergi. Aku meutuskan untuk tinggal di rumah. Ya, itu aku lakukan karena hari ini adalah hari Rabu. Hari inilah pengumuman kelulusan akan disampaikan Pemda Ketapang.

Sesekali aku menanyakan ke tetangga apakah ada telpon masuk atau tidak yang memberitahukan mengenai pengumuman. “Belum ada,”begitulah jawabnya.

Aku semakin gelisah. Lulus atau tidak. Apa temanku melihatkan atau tidak. Ditengah penantianku telpon berdering. Dengan segera aku menghampiri Pak Ari, nama tetanggaku itu. “Halo ini siapa?” tanya Pak Ari.

Tanpa bisa mendengar suara siapa yang diseberang sana, aku hanya bisa menatap Pak Ari yang masih khusuk menyimak suara yang didengarnya.

“Oh, ini ada. Dia sudah menunggu dari tadi.” Jawab Pak Ari.

‘Serrrrr!’ darahku mengalir deras. Langsung kuambil gagang hanpon yang diberikan Pak Ari.

“Halo, Bakri selamat kamu lulus!” teriak di seberang sana.

“Kamu serius aku lulus! Coba kamu cek sekali lagi! Apa betul itu namaku!” pintaku masih belum yakin.

“Iya, kamu lulus. Tertera secara jelas diurutan nomor 17 atas nama Umar Bakri dengan nomor peserta 302, itu nomor kamukan?”

“Alhamdulillah, ya itu nomorku! Terima kasih atas informasinya,” ucapku seraya mematikan hanpon.

“AKU LULUS!” teriakku dalam tangis haru. Rasa tak percaya segalanya tak sia-sia!

Keluargaku yang semula tidak mendukung akhirnya merespon positiv atas kelulusanku. Acara syukuran pun diselenggarakan lagi. Semua hanyut dalam kebahagiaan. Terutama Ibu dan Ayah, mereka sangat bangga padaku. Ya, aku lulus pada urutan 17 dari 600 pendaftar. Dari lima teman yang sama-sama mengikuti tes ini hanya aku dan seorang teman yang mengikuti tes bahasa Inggrislah yang lulus. Terima kasih keluargaku, terima kasih Ya Allah, mimpi itu ternyata tidak sia-sia. Hore! tidak lama lagi aku akan menyandang gelar mahasiswa. “Aku akan datang untukmu Universitas Tanjungpura! Akan kugali semua ilmu yang kau tanam di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan! Aku datang sebagai Mahasiswa Ikatan Dinas Kabupaten Ketapang! Aku cinta bahasa Indonesia!”***

Cerpen Terbaik 2010 (he, he, he, versi penulis sendiri)

[Enter Post Title Here]

SI BEGUL DAN MOTOR BARU

Oleh: Suryadi

P

ada suatu hari Si Begul girang bukan kepalang, apa sebab? Dia “ditimpa durian runtuh” alias “dapat rejeki nomplok”, bagaimana itu terjadi? Dia mendapatkan hadiah motor dari sang Ayah atas kesuksesannya lulus sekolah. Ya, Si Begul baru saja lulus SMA walaupun prestasinya di sekolah sangat buruk. Mungkin itulah yang membuat Ayahnya berinisiatif memberinya hadiah istimewa. Sebuah sepeda motor Thunder keluaran terbaru yang memang selama ini diimpikan Begul.

Otomatis si Begul tersenyum tanpa henti. Ya, dia begitu gembira. Apa lagi motor barunya itu akan menjadi modal awalnya untuk “menggaet” pujaan hatinya, Lela. Gadis cantik yang selama ini dikaguminya, hanya saja tidak ada modal penyokong kepercayaan dirinya. Prestasi rendah dan keuangan juga pasrah. Otomatis kepercayaan dirinya “melempem” alias “layu” alias “lemah”. Akan tetapi kini tentu berbeda.

“Yes!” teriaknya kegirangan.

Sore itu, tatkala matahari mulai condong ke arah barat, Begul pergi menikmati jalan sore tentunya sambil mencoba tunggangan barunya. Semakin lengkaplah kebahagiaan Begul, ia kini tidak lagi jalan kaki menyusuri jalan yang ia lalui sekarang ini seperti hari-hari sebelumnya, ditambah lagi banyak cewek yang sedang joging meliriknya sambil tersenyum. Begul pun hanya tersenyum manis membalasnya. “Yes!’ teriaknya lagi, seolah-olah ia yakin Lela pun akan terpikat padanya seperti para gadis yang tersenyum padanya.

Setelah lama berkeliling menyusuri jalan aspal yang berliku, Begul pun berhenti di sebuah warung kopi yang berseberangan dengan sebuah mini market. Warkop ini merupakan tempat dulu biasa Begul berhenti sepulang sekolah untuk minum es sebagai penghapus dahaga. Akan tetapi kali ini ia tidak memesan teh es seperti biasanya, mungkin karena ia tidak dahaga dan keletihan seperti biasanya.

“Teh hangat segelas, Bang!”

“Tumben!” celetuk pemilik Warkop.

Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas yang berisi teh, pemilik Warkop bertanya pada si Begul,

“Wah, motor baru ya, Gul?”

“Iya, hadiah dari Ayah atas kelulusanku. Ah, tapi dari mana Abang tahu itu motor baru?” tanya Begul sambil tersenyum girang.

“Loh, motor baru yang pasti masih kinclong dan lihat, platnya saja masih berwarna merah begitu, KB 512 XX he, he, he!”

Begul hanya tersenyum mendengar jawaban pemilik warkop itu.

“Begul, hati-hati sekarang ini banyak curanmor!”

“Curanmor itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.

“Pencurian sepeda motor. Ah, kamu ini lulus SMA tapi curanmor saja tidak tahu.”

“O, pencurian sepeda motor!” ungkap Begul mengulangi seolah-olah lupa dengan sindiran Bang Warkop.

“Beberapa hari yang lalu di depan mini market itu ada yang kehilangan sepeda motor. Padahal baru ditinggal berbelanja sebentar sama yang punya dan motor itu dalam kondisi telah dikunci stang.”

“Lihat saja poster yang dipajang polisi itu! Ya, walaupun himbauan itu terpasang setelah semua terjadi tapi apa salahnya mengingatkan agar tidak terulang lagi,” sambung Bang Warkop.

Begul kemudian membaca poster yang dimaksud Bang Warkop tadi.

“PARKIRLAH KENDARAAN ANDA DI TEMPAT YANG AMAN DAN GUNAKAN KUNCI GANDA.”

“Kunci ganda itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.

“Kunci ganda itu maksudnya kunci tambahan selain kunci kontak atau kunci stang. Misalnya diberi alarm atau ada letak kunci rahasianya. Yang jelas harus lebih dari satu kunci.”

“O,” kata Begul sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Sasarannya selalu motor yang bagus, Gul!”

“Wah, berarti motorku terancam. Wah, gawat!” pikir Begul.

***

Sesampainya di rumah, Begul langsung memasukkan motornya ke dalam rumah. Ia tidak mau jadi bagian dari kisah korban curanmor. Ia teringat pesan Bang Warkop dan poster yang berisikan pesan polisi tadi sore itu.

Ia kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Di kamarnya yang sempit itu, ia berpikir keras mencari akal agar motornya aman dari tindakan kriminal tak bertanggung jawab para curanmor.

“Hemm, bagaimana kalau diberi alarm saja,” pikirnya.

“Ah, tapi pasti perlu dana banyak.”

“Huhh!” keluhnya.

“Minta uang pada Ayah, tidak mungkin. Syukur-syukur sudah dibelikan motor.” Gerutunya dalam hati.

Lama Begul berpikir di dalam kamarnya. Lama ia memaksakan IQ-nya yang rendah untuk mengeluarkan energi sebagai pemberi cahaya pada lampu idenya. Lama ia memaksakan itu. Mungkin ia lupa bahwa pemerintah akan menaikkan tarif dasar listrik atau TDL. Namun tidaklah sia-sia, karena lampu idenya memberikan solusi juga.

“Ahaaa!” teriak Begul penuh kemenangan karena merasa idenya cukup cemerlang.

Malam itu juga Begul melancarkan aksi untuk mewujudkan ide cemerlangnya. Ia keluarkan motor yang telah ia “kandangkan” di dalam rumah.

“Mau kemana, Gul?”

“Mau ke tempat Datuk Marijan, Yah!”

“Hei, ada perlu apa kau ke sana malam-malam begini?”

Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban dari Si Begul karena ia dan motor barunya telah melesat jauh dalam kegelapan, kini hanya terlihat nyala merah lampu belakangnya saja dan mulai hilang ditikungan jalan.

***

Ruangan itu cukup gelap, berukuran 3x3 m2. Ada meja persegi panjang yang dihiasi taplak meja dari kain hitam. Hanya remang-remang cahaya lilin saja sebagai penerangnya. Seketika baru memasuki ruangan, semerbak bau kemenyan akan menyerang hidung, cukup menyengat. Ada tanah liat yang berbentuk mangkuk kecil yang berisi bara api, di sanalah kemenyan-kemenyan itu dibakar. Ada keris berdiri tegak di antara asbak kemenyan dan mangkuk yang berisi air. Di ujung meja ada mangkuk besar yang berisi bunga tujuh rupa. Sosok tua yang memiliki kumis lebat dan berpakaian serba hitam tengah duduk bersila di hadapan Begul yang dibatasi meja. Dialah Datuk Marijan si dukun sakti yang berasal dari Kabupaten Ketapang itu.

“Begini Tuk, e...e...mak...sud....”

“Saya sudah tahu maksud kedatanganmu anak muda,” kata Datuk Marijan memotong pembicaraan Begul.

“Tidak salah lagi,” pikir Begul. Orang yang ia tuju benar-benar hebat. Buktinya sebelum Begul menceritakan maksud kedatangannya saja, dukun itu telah mengetahuinya. Kali ini juga Begul membuktikan sendiri kehebatannya karena selama ini ia hanya mendengar cerita dari teman-temannya di sekolah saja tentang dukun sakti itu.

“Berapa lama kamu memiliki motor itu?”

“E...e...belum ge...nap seha...ri, Tuk,” jawab Begul terbata-bata.

“Jadi, kamu mau saya apakan motormu itu?”

“Ah, tadi katanya sudah tahu, gimana sih nih dukun?!” gerutu Begul dalam hati.

“E...e...begi...ni Datuk, saya mau motor saya jangan terlihat menarik atau kelihatan bagus di mata orang kecuali oleh keluarga saya.

“Ha, ha, ha, perkara mudah itu!” kata dukun menyombongkan diri sambil mengelus-elus kumis hitamnya. Ia lalu memejamkan mata, mulutnya mulai komat-kamit membaca mantra sambil menaburi kemenyan di atas bara dalam mangkuk tanah liat di hadapannya.

Angin mulai berhembus tak beraturan. Membuat bulu kuduk Begul berdiri, ia menggigil karena merinding tapi ia hanya diam menatap ulah dukun di hadapannya. Air dalam mangkuk juga mulai bergoyang-goyang menciptakan riak-riak kecil.

Datuk Marijan lalu menaburkan bunga tujuh rupa ke dalam mangkuk itu. Kemudian mulutnya kembali komat-kamit membaca mantra. Sekitar lima menit kemudian...,

“Buurrrrrr!” bunyi semburan Datuk Marijan ke arah mangkuk sambil diikuti gerakan kedua telapak tangannya seolah memberikan tenaga megis ke dalam mangkuk yang berisi air dan kembang tujuh rupa itu.

Air itu lalu ia masukkan ke dalam botol bekas air mineral, tidak lupa sambil komat-kamit tentunya.

Lalu botol itu ia serahkan pada Begul. Seraya memberikan resep,

“Besok pagi, sebelum matahari terlihat atau menyembul dari arah timur kamu harus memandikan motormu menggunakan air itu.”

“Baik, Datuk.”

“Jika kamu telat, akibatnya akan fatal,” ancam dukun.

“Baik, Datuk.”

Seusai registrasi, Begul langsung pulang ke rumahnya. Tentu kali ini senyumnya semakin merekah penuh kebanggaan karena ide cemerlangnya berhasil ia wujudkan.

***

“Kukuruyuuukkk,” teriak ayam jago membangunkan Begul dari buaian mimpinya. Ia mencoba membuka jendela kamarnya untuk memastikan apakah matahari telah menyembul atau belum. Menyadari hari telah mulai pagi Begul bergegas mengambil botol yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tadi malam.

Dengan langkah penuh kemenangan Begul menghampiri motor barunya.

“Aduuuh, bagaimana cara mencucinya?” pikir Begul.

“Apakah air ini dicampurkan ke dalam ember yang berisi air atau sekadar dilapkan saja?” gerutunya.

Akhirnya Begul hanya memerciki motornya dengan air mineral dari Datuk Marijan. Setelah selesai prosesi ritualnya, ia kemudian menjemur motornya, sambil menanti munculnya sang surya.

“E...e...rajinnya anak Ayah, pagi-pagi sudah memandikan motor, tapi jangan lupa mandikan juga orangnya,” celetuk Ayah Begul sepulang dari masjid dekat rumahnya.

Begul hanya tersenyum manis membalas pujian sang Ayah.

***

Sore harinya Begul memulai aksinya lagi berkeliling menggunakan motor barunya. Satu, dua, tiga, cewek yang sedang joging ia lalui namun kali ini berbeda dari harinya kemarin. Gadis-gadis itu hanya menantap Begul keheranan. Ada juga yang melihatnya tersenyum, hanya saja senyum memperolok. Mungkin mereka berpikir tak sesuai dengan dandanan si pemakai yang berpakaian rapi, minyak rambut yang begitu mengkilap, dan sepatu. Tentu hal ini mengecewakan hati Begul. Ada apa dengan dirinya? Mengapa belum genap dua hari ia memiliki motor baru, para gadis-gadis yang semula senyum padanya kini berubah. Ada apa ini? Tanya itu terus berkecamuk dalam benak Begul, sampai akhirnya ia berhenti di tempat kemarin, warung kopi.

Bang Warkop juga menatap Begul keheranan. Begul pun semakin bertanya-tanya ada apa sebenarnya ini? Belum sempat ia memesan minuman dan mempertanyakan keheranannya ia telah dikejutkan oleh suara Bang Warkop.

“Motor siapa yang kau pakai, Gul?”

“Motor saya ‘lah, Bang!”

“Eh, Motor baru yang kemarin kemana?”

Begul mengerutkan keningnya karena semakin bingung dengan semua itu. Bukankah motor yang ia kenakan adalah motornya yang kemarin? Ah, ada apa ini?

“Kau jual atau tukar tambah, Gul?”

Begul semakin tak mengerti dan diam membisu.

“Hanya karena takut curanmor motor barumu kau jual? Sayanglah, Gul, Gul!?”

Begul hari itu tidak jadi memasan minuman, ia langsung bergegas pulang ke rumahnya membawa sejuta tanya. Akan tetapi dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Lela pujaan hatinya. Tentu ia langsung memasang gaya sambil menghampiri gadis yang sedang joging itu.

“Hai, Lela,” sapa Begul memulai aksinya dari atas motor.

“Ikut Abang yok!”

Namun Lela tidak mengubris ajakan Begul ia tetap berlari kecil tanpa menoleh sedikit pun.

“Ayolah Lela, sambil mencoba motor baru Abang!” rayu Begul.

“Huh, motor jelek begitu! Nggak level!” kata Lela.

“Ini motor baru kok, lihat saja masih kinclong, dan platnya saja masih berwarna merah! Motor ini baru dibelikan kemarin sama Ayah.”

“Matamu buta, Ya!” olok Lela.

Uh, betapa sakit dan pilunya hati Begul. Ia tidak habis pikir gadis pujaan hatinya pun memperoloknya. Gagal sudah harpannya, pupus bersama kebingungannya. Kini yang tersisa hanyalah gejolak tanya, ada apa sebenarnya? Mengapa mereka semua memperolok motor barunya? Begul tetap tak menemukan jawaban atas tanya itu. Mungkin IQ-nya yang rendah tak mampu menuntunnya pada sebuah jawaban yang jelas. Mungkin juga otaknya tak secemerlang saat ia menemukan ide untuk membuat motornya aman dari tindakan tak bertanggung jawab para curanmor. “Jika membeli kunci ganda aku tak mampu, ah, aku minta bantuan Datuk Marijan saja. Aku minta ajian supaya motorku tak terlihat menarik dihadapan orang-orang yang berniat jahat mencuri motorku. Bukankah Datuk Marijan terkenal sakti.”

***

Kini Begul terbaring pilu di dalam kamarnya yang sempit. Harapannya pada motor barunya sebagai sarana memikat hati Lela gagal sudah. Ia tatap lekat-lekat flapon rumahnya walau pun pandangannya kosong tak bermakna. Sepertinya ia telah putus asa untuk memaksakan IQ-nya yang rendah untuk ‘membedah’ segala tanya yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Apa lagi masalah Si Begul kalau bukan mengenai motor barunya yang kini tidak bermutu di hadapan orang-orang.

“Ah, tapi mengapa kata Ayah motorku tetap bagus dan tidak berubah sedikit pun.”

“Ah, Ibu juga mengatakan motorku semakin terlihat kinclong, semenjak aku pulang dari rumah Datuk Marijan.”

“Ah, jadi mengapa orang-orang mengatakan motorku jelek? Apa alasan mereka? Keluargaku atau mereka yang salah lihat?”

“Ah, pusing!” pikir Begul.

Bagul kemudian berhenti sejenak dari kegiatan “peneletian” penyebab dalam tanya yang ‘meracuni’ hati dan pikirannya. Ia menerawang lagi langit-langit kamarnya. Berpindah dari satu objek pandangan ke objek yang lain. Selesai memandang kedua cicak yang sedang bermesraan di flapon kamarnya yang sempit ia beralih ke pentilasi, lalu jendela, kemudian berpindah pada meja belajarnya yang dihiasi tumpukan buku.

“Huhh”, hembus napasnya berat.

Ia lalu menatap lemari usang yang berdiri tegap di hadapannya. Ia pandangi guratan-guratan tua di wajah pintunya. Ya, lemari itu terlihat kusam. Warna catnya saja sudah memudar. Ia pandangi dari bawah sampai ke atas lemari itu. Sampai akhirnya ia berhenti dan berfokus pada satu objek benda. Benda itu “terduduk” indah di atas lemari itu. Bentuknya lonjong dan memiliki guratan-guratan namun bukanlah guratan tanda penuaan. Ada label melingkar di pucuk benda itu, mungkin itu adalah “pakaiannya” karena hanya itulah penutup tubuhnya. Lama Begul tertegun menatap benda itu. Sampai akhirnya ia tersenyum sendiri. Matanya berbianar-binar bercahaya seolah-olah ia menemukan intan permata yang lama terpendam di dasar bumi.

“Ahaaa,” teriaknya kegirangan.

“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang!” gumam Begul sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ia lalu bangkit dari pembaringannya. Ia gapai benda yang mampu mengantarkan IQ-nya yang rendah itu pada sebuah jawaban yang jelas dan tepat. Ia pandangi dan genggam dengan erat.

“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang, kamulah penyebabnya!” geram Begul.

“Akan kubakar kau! Kaulah pembawa sialku!”

“Botol jahanam!” teriak begul sambil memabanting botol air mineral yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tempo hari.

“Ah, haruskah aku membakarnya? Mempersalahkannya? Apa botol ini memang benar-benar bersalah dan pantas dipersalahkan?”

“Ah! Datuk sialan itulah yang salah! Dia yang telah memberiku ramuan dalam botol ini!”

“Ya, sialan dukun itu! Dialah penyebab semua ini! Akan kubakar rumah perdukunannya!” geram Begul sambil meremas botol yang ia gegam kembali.

“Ah, pantaskah itu kulakukan? Apakah dia benar-benar penyebab semua ini? Apakah Datuk Marijan pantas dipersalahkan?”

“Bukan!” teriak batinnya.

“Ya! Dia tidak pantas dipersalahkan! Lalu siapa yang bersalah?”

Begul kemudian merebahkan badannya kembali, “Lalu siapa yang bersalah?” tanya Begul lagi pada dirinya.

“Aku!”

“Ya, akulah yang bersalah! Akulah yang meminta Datuk Marijan memberiku ramuan agar motorku aman dari tindakan jahanam para curanmor!”

“Ah, tapi itu aku lakukan karena bajingan curanmor yang selalu meresahkan masyarakat! Bajingan! Sampah masyarakat mereka! Kalau bukan karena mereka tidak mungkin aku sebodoh ini? Sampai meminta ajian pada Datuk Marijan! Ya, merekalah yang pantas dipersalahkan dan diberantas! Musnahkan saja mereka, agar tidak ada yang harus bersusah payah mencari akal untuk mengamankan kendaraan mereka! Jika para curanmor musnah, pemilik kendaraan bermotor tentu akan tenang dan tidak resah!”

“Lalu siapakah yang dapat memusnahkan mereka? Polisi? Ah, yang kutahu polisi hanya memajang poster saja! Aku? Apa dayaku? Mungkinkah Masyarakat? Lalu dengan cara apa? Apa masyarakat ramai-ramai datang pada Datuk Marijan meminta ajian keselamatan? Ah, itu sama saja dengan pembodohan masal! Ah, ke kantor polisi saja! Tuntut kinerja polisi untuk maksimal memberantas pelaku bejat para curanmor itu! Mungkinkah itu akhirnya akan berhasil mengantarkan kata “aman” dan “ketenangan” di hati masyarakat? Ah, atau Pencipta mereka saja, tentu akan lebih bijak mengatasi semua ini!?” Celoteh Begul sambil tersenyum sendiri dalam kamarnya yang sempit.

“Ah, aku berdoa saja pada Pencipta mereka, agar mereka para curanmor disadarkan dan kembali pada fitrah kemanusiaan dan aku berdoa agar Datuk Marijan tidak mengamalkan ilmu kesesatan! Yang terpenting aku harus berdoa untuk keselamatan jiwaku, keluargaku, dan tentunya kesalamatan motor baruku. Kurasa itu adalah solusi yang tepat untukku lakukan! Segala sesuatu yang kumiliki saat ini hanyalah titipan dari-Nya. Harta tidaklah abadi dan kubawa mati. Aku lahir tidak membawa apa-apa, tentu aku kembali tidak membawa apa-apa pula kecuali tiga perkara ilmu yang bermanfaat, amal jariah, dan doa anak yang soleh. Setidaknya itulah pesan guru agamaku diwaktu SMA! Motor baruku suatu saat akan musnah karena dia tidaklah kekal.”

Begitulah kisah Begul dan motor barunya. Akhirnya Begul tersadarkan bahwa segala sesuatu harus diserahkan dan dipasrahkan kepada Sang Pencipta karena itu jauh lebih aman dan menenangkan. Namun satu pesan Begul, “Jangan hanya berdoa tapi berusahalah, asalkan jangan berusaha mendatangi orang-orang seperti Datuk Marijan karena itu hanya perbuatan yang sia-sia, kesyirikan, dan kebodohan yang nyata.” ***