Kamis, 07 Januari 2010

cerpen kesedihan

 

"AHHH! PAHLAWAN?!"

Oleh Suryadi Abdillah

 

Bulan Januari seperti saat ini hujan kerap mengguyur kota Pontianak. Mungkin ada benarnya juga sebuah selogan yang mengatakan, bahwa nama bulan Januari itu berasal dari singkatan 'hujan turun setiap hari'. Ya, begitu juga pagi ini hujan kira-kira mulai pukul 18.28 WIB kemarin, masih terlihat terus merintikkan butiran-butiran air dari langit. Belum juga reda. Padahal pagi ini aku harus melaksanakan tugas rutinku, yaitu mengantar Ibu pergi ke pasar Flamboyan. Membeli sayuran dan lauk-pauk untuk mengisi emperan warungnya.

"Kita pergi tidak, Bu?" tanyaku pada Ibu yang terlihat masih berdiri di depan pintu warungnya, menyaksikan ritik hujan yang berjatuhan membasahi bumi.

"Kita tunggu 15 menit lagi. Jika masih belum juga reda, ya terpaksa kita harus menerobos hujan. Daripada hari ini tidak ada yang dijual," jawab Ibu setelah memalingkan wajahnya ke arahku yang masih duduk di beranda rumah.

Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan Ibu. Aku segera bangkit dari tempat duduk. Bergegas masuk ke dalam rumah. Kukeluarkan motor vega keluaran 2004 dari dalam rumah ke beranda. Kutatap sejenak jarum indikator minyaknya. "Oh, masih cukup,"fikirku. Lalu kubunyikan mesinnya. Ia harus pemanasan terlebih dahulu sebelum berpacu di tengah guyuran hujan yang akan membuatnya "menggigil" kedinginan. Tidak boleh kalah dengan para olahragawan, yang selalu pemanasan sebelum bertanding.

Sepuluh menit berlalu, namun belum juga ada tanda-tanda bahwa hujan telah 'puas'menyirami bumi.

"Memang hujan model seperti ini lama berhentinya," gumamku dalam hati.

Aku melihat Ibu berjalan mengambil jaket yang tergantung di sebuah paku, yang biasa ia kenakan. Mungkin nama sejatinya 'kostum khusus ke pasar'.

Aku sudah bisa menebak itu. Pasti kami akan berangkat menerobos hujan.

"Mantelnya mana?" tanya Ibu.

"Kemarin dipinjam teman, Bu. Tapi belum dikembalikan," jawabku.

"Kamu tidak apa-apa jika hujan-hujanan mengantar Ibu?"

"Justru segar, Bu! Kan pagi-pagi mandi air hujan. Lebih barokah karena hujannya langsung dari langit, he,,he,,"

"Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat," ajak Ibu. 

Rintik hujan langsung menyerbu tubuhku sesaat setelah motor kukeluarkan ke halaman rumah. Sejuk kurasa.

"Sudah, Bu?" tanyaku memastikan apakah Ibu telah siap pergi, yang kini berada di boncengan motorku.

'Iya!" jawabnya singkat.

                                                      ***

"Lampu jangan lupa dinyalakan, Rul. Nanti kita ditilang polisi," perintah Ibu ditengah perjalanan.

Dengan buru-buru aku mendorong sakelar lampu menggunakan jempol tangan kanan.

"Iya,ya,  sekarang kan wajib menyalakan lampu di siang hari, tapi ini kan masih pagi? Ah, siang saja wajib apalagi pagi, he,,he,," aku tertawa sendiri dalam hati.

Memang jalan juga masih remang-remang. Selain karena hujan, lampu jalan raya ini sudah beberapa hari ini tidak dinyalakan. Mungkin PLN lagi 'pengiritan'. Tapi masih mendingan mematikannya pagi hari. Daripada pengiritan dengan cara mematikan lampu warga tentu merugikan banyak pihak. Pelajar susah belajar. Salon tidak berkutik tanpa listrik, dan banyak lagi masalah yang timbul karena dirugikan PLN. Ah,,,mudah-mudahan kerisis listrik di Pontianak segera teratasi.

 

Motor vegaku terus melaju. Menerobos hujan. Jaket yang kukenakan telah basah. Semakin dingin kurasa, karena angin pagi hadir mengimbangi laju motor. Jalan A. Yani kini yang kulalui. Putaran gas motor yang dari tadi kupertahankan kini perlahan ku lepaskan. Motor pun bergerak perlahan, seiring genangan air yang beberapa meter membentuk kolam di hadapanku.

"Huhh, jalan selebar ini saja banjir apalagi jalan yang sempit! " keluhku.

Ibu hanya terdim mendengar keluahanku. Mungkin ia terbius udara pagi. Mungkin juga karena Ibu telah terbiasa menghadi banjir seperti ini.

Setelah melewati banjir yang untungnya tidak terlalu dalam.motor kembali kupaksa melaju. Menarik gasnya. Terus menyesuaikan laju. Belok kiri. Kini Jalan Veteran yang kulalui. Baru saja aku merasa lega karena telah melewati banjir. Tapi kini aku harus berhadapan lagi dengan banjir.

"Ternyata Veteran tidak mau kalah saing dengan A.Yani," keluhku.

 Beberapa saat melaju kini aku terhenti lagi. Tepatnya terpaksa berhenti. Bukan karena banjir seperti sebelumnya. Melainkan simbol merah menyala 'memelototi' semua pengendaara yang ada di hadapannyalah yang memaksaku.

"Huhhh," kembali aku mendesah kesal.

"Pagi-pagi seperti ini pengatur waktu lampu lalu lintas 90 detik. Tidakkah Bapak yang bertugas menyesuaikan? Kapan waktu kepadatan terjadi? Jika seperti ini tentu rawan saling mendahului. Jika empat arah ini sedang tidak terlalu ramai, lantas semua menerobos karena tak kuat terlalu lama menunggu tentu berbhaya," gumamku dalam hati.

                             ***

"Huhh, akhirnya sampai juga," gumamku setelah motor memasuki halaman parkir.

Seperti biasa dan memang menjadi pemandangan setiap hariku di pasar Flamboyan ini, yaitu pedagang ramai berjualan disepanjang Jalan Pahlawan. Mengakibatkan jalan menjadi sempit. Ya, tidak ada perubahan, selalu seperti ini. Kita harus berjalan penuh kehati-hatian. Berjalan mencari sayur dan lauk-pauk yang dijual di sepanjang jalan. Suara "jeritan" klakson pengendara yang berlalu di jalan ini menemani kita berbelanja. Yang seolah-olah berteriak, "menyingkir semua! Aku mau lewat! Awas tertabrak! Ini jalan bukan tempat jualan!" setiap di pagi hari selalu seperti ini. Tidak perduli derasnya hujan seperti pagi ini.

"Huhh!" lagi-lagi aku mengeluh sambil mengusap air hujan yang membasahi muka.

"Ibu kemana, perasaan tadi berada di sebelahku?" aku terkejut karena Ibu hilang dari pandanganku.

Aku terus mencari-cari sosok Ibu di antara keramaian orang dan terbatasnya pandangan oleh hujan. Mungkin tadi aku terlalu khusyuk melihat-lihat para penjual yang menjajakan dagangannya disepanjang jalan ini, hingga aku tak melihat Ibu yang beranjak pergi, tapi kemana?

 "Huhh!" lagi-lagi aku mengeluh. Mataku terus mencari sosoknya di keramaian.

"Ibu kemana?" fikirku.

"Seharusnya aku menemani Ibu, menjaganya, tapi kemana Ibu?!" jeritku dalam hati.

Dalam kegalauan hati, keramaian, kebisingan pengendara yang melintas di jalan yang kulalui, tidak juga aku menemukan. Terus berjalan. Tidak memperdulikan orang disekelilingku. Melewati motor-motor yang terpakir sembarang tempat. Melewati becak yang terparkir tak teratur.Ibu, aku harus menemukannya. Tapi kemana?

Tiba-tiaba,,,,,,DUAAARRRR!!!!!!!!

Aku melihat orang berlari berkumpul pada satu titik. Ternyata sebuah oplet berwarna putih bernomor KB 2010 JN, menabrak seorang pembeli. Oarang-orang yang berada disekitar kejadian panik. Mereka membentuk lingkaran. Menutupi sosok yang terkapar.

"Dia meniggal!" teriak salah satu dari mereka.

Tentu saja aku semakin kalut. Takut. Bingung. Aku penasaran.

"jangan-jangan itu Ibu!" gumamku.

"Huhh!" lagi-lagi aku mengeluh.

"Aku yang salah, maafkan aku, Bu! Seharusnya aku menjagamu!"

Dengan tergesa-gesa aku menerobos kerumunan orang-orang yang menutupi padanganku dari sosok itu. Namun,,,,,

"Huhhh!" kembali aku mengeluh.

Aku terpana. Terdiam. Gelap kurasa. Pandanganku kosong.

"Huhh! Mungkinkah ini?"

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Sosok yang terbaring dengan darah yang terus mengalir dari luka di badannya ini, ternyata mirip denganku. Sungguh sama. Tak ada beda sedikitpun. Pakaian yang ia kenakan pun sama. Tinggi badanya pun sama.

"Huhh! Jalan Pahlawan! Kau menumbangkan pahlawan! Pahlawan seorang Ibu.***



Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik.
Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang!