Minggu, 27 Desember 2009

BENIH CINTA YANG BERBUNGA

BENIH CINTA YANG BERBUNGA
Oleh Suryadi Abdillah


Di sebuah rumah yang tidak terlalu megah. Namun tertata rapi, tamannya indah dan terawat, ruangannya tersusun teratur. Rumah yang minimalis namun bernilai tinggi. Di ruang tamu, ada sofa leter L. Berwarna cokelat muda, meja kaca, dan sebuah televisi berukuran 32’ menghiasi rungan itu. Ada tiga orang yang sedang duduk di sofa itu. Dua orang perempuan dan satu laki-laki berkacamata. Pak Anto, Ibu Ani, dan bersama putri kesayangan mereka, Erni. Pak Anto duduk bersebelahan dengan istrinya. Sedangkan Erni duduk di sisi sofa yang lain, menghadap televisi. Ia begitu asyik menikmati acara yang ditayangkan di televisi. Keluarga ini masih diselimuti kebahagiaan karena anak semata wayangnya, yaitu Erni baru saja menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia kini telah menyandang gelar S.Pd., tepatnya Erni Mayasari, S.Pd.

“Erni, Bapak ingin bicara penting padamu,” kata Pak Anto mengawali pembicaraan pagi itu. Erni sedikit terkejut karena Pak Anto ingin membicarakan hal yang penting padanya. Tidak biasanya.
“Iya Pa, ada apa? Erni matikan televisi dulu.”
Ia bangkit dari tempat duduknya. Mematikan televisi. Kemudian ia duduk dekat dengan kedua orang tuanya.
Pak Andi menghela nafas lalu berbicara,
“Nak, umurmu kini bapak rasa sudah dewasa, sudah saatnya kamu mencari pendamping hidup.”
Erni terdiam mendengarkan kata-kata Papanya. Ia tidak menyangka bahwa topik pembicaraan pagi itu mengenai masa depannya. Tentang seorang pendamping hidupnya. Ia menundukkan kepalanya. Ia berfikir sejenak. Suasana hening beberapa saat.
“Papa sama Mama sudah rindu ingin menimang cucu Er,” kata Bu Ani ikut dalam pembicaraan.
“Erni ikut apa kata Papa sama Mama,” jawab Erni.
“Apa kamu sudah punya pilihan, nak?” tanya Pak Anto pada puterinya.
“Papa sama Mama tahu Erni selama ini tidak mau berpacaran, itu karena Erni ingin fokus dulu pada pendidikan Erni,” jawab Erni menjelaskan.
Memang Erni adalah cewek idola di kampusnya. Tak hanya itu, dulu saat di bangku SMP dan SMK, dia juga merupakan idola. Selain cerdas, ia cantik, dan berpostur tinggi. Mungkin orang-orang menyebut itu dengan kata seksi.
“Jika Papa sama Mama yang memilihkanmu bagaimana?”
“Jika itu terbaik untuk keluarga, baik untuk papa sama mama, khususnya masa depan Erni, berarti baik juga untuk Erni, Pa.”

Pak Anto dan Bu Ani berpandangan. Mereka tersenyum bahagia mendengar kata-kata putrinya yang begitu santun dan hormat pada mereka.
***
Beberapa hari kemudian.....
Erni hari itu hendak pergi berbelanja ke Supermarket Mitra. Ia pergi menggunakan sepeda motor mio barunya. Melaju dengan kecepatan sedang. Melesat di jalan raya. Menerebos waktu. Meninggalkan puing-puing waktu yang berlalu. Memang letak super market yang di tujunya tidak terlalu jauh, hanya 1 km dari rumahnya. Sesampainya, ia langsung mencari barang-barang yang diperlukannya. Ia tidak perlu bingung menentukan posisi benda-benda yang ingin dibelinya, karena ia sudah sering berbelanja di supermarket ini. Ia tersenyum ketika berada di sebuah rak buku. Ia teringat dulu waktu bertemu Heru, orang yang membuat hatinya bergetar, orang yang pernah membuat jantungnya berdegup kencang, kala itu. Kejadiannya sekitar setengah tahun yang lalu. Waktu itu Erni buru-buru mencari sebuah buku untuk leteratur skripsinya. Karena tergesa-gesa ia menabrak seseorang yang sedang memilih-milih buku di rak itu. Di rak yang persis kini ada di hadapannya. Dan orang itu adalah Heru. Buku-buku yang di pegang Heru jatuh ke lantai. Karena merasa itu kesalahannya, Erni langsung merapikan buku yang jatuh sambil meminta maaf. “Ia tidak apa-apa mba, lain kali hati-hati,” kata Heru kala itu. Setelah itu mereka berkenalan.
Ia kembali tersenyum.
“Sekarang dia di mana ya? Apakah ia juga memiliki perasaan yang sama, seperti apa yang aku rasakan kepadanya? Rasa yang sama, yaitu jatuh cinta pada pandangan pertama? Ah, bodohnya aku! Kenapa dulu waktu bertemu dengannya aku tidak meminta nomor HPnya,” bisiknya dalam hati.
“Ah, kalau jodoh tidak akan kemana,” Erni mencoba menghibur hatinya.
Ia kemudian melanjutkan mencari barang-barang yang akan dibelinya.
***
“silakan duduk, ada angin apa ini? Tumben kau datang ke tempat ku?
“Ah, memangnya aku tidak boleh menyambangi sahabat lama,” jawab Pak Anton.
Siang itu sepulangnya dari kantor, Pak Anton singgah di rumah sahabat lamanya. Pak Budi. Mereka bersahabat sejak SMP.
“Aku tidak ingin berbasa-basi, Bud. Kedatanganku ini yang pertama-tama ingin menyambung silaturahim dan yang ke dua aku ingin menagih janjimu dulu. Kau bilang mau menjodohkan anak kita.”
“Ha,ha,ha, masih ingat saja kau To!”
“Aku serius, Bud!”
“Ya,ya,ya, aku mengerti To. Aku sebagai kepala keluarga sih setuju-setuju saja. Tadi malam aku dan istriku juga membahas ini. Tapi, yang menjalani semua kan anak kita. Jadi, saya harus bertanya dulu sama Ahmad. La, memangnya kamu sudah menanyakan hal ini sama anakmu? Si,,,,,
“Erni!” jawab Pak Anto melihat Pak Budi kesulitan menyebutkan nama anaknya.
“Ya! Si Erni. Apa sudah kau tanyakan?”
“Tidak mungkin aku ke rumahmu kalau aku tidak meminta ijin dulu kepada puteriku. Ia sudah setuju jika aku yang mencarikan ia pendamping hidup. Dengan catatan harus baik untuk keluarga dan terlebih lagi untuk masa depannya. Nah, aku rasa anakmu memenuhi syarat itu!”
Pak Budi hanya tersenyum mendengar penjelasan sahabatnya itu.
“Begini saja, Si Ahmad belum pulang dari kantornya. Aku harus membicarakan ini dulu dengan dia. Insya Allah jika dia setuju, dua hari ke depan aku akan datang ke rumahmu.”
“Baiklah kalau begitu. Saya pamit langsung pulang ni,” ucap Pak Anto meminta diri.
“Loh, kok buru-buru. Tehnya saja belum habis tu.”
Pak Anto hanya tersenyum. Bangkit dari tempat duduknya. Mereka kemudian bersalaman.
“Hati-hati!” pesan Pak Budi pada sahabatnya sesaat setelah deru mesin mobil Pak Anto berbunyi. Kemudian bergerak maju dan menghilang di tikungan ujung jalan.
***

Malam harinya Pak Budi langsung menceritakan perihal kedatangan Pak Anto siang itu. Ia menceritakan semua pada Ahmad. Ahmad hanya terdiam. Ia tak bisa berkata, lidahnya kelu. Ia bingung. Ia bingung karena di hatinya telah terlukis satu wajah. Pesona gadis yang berhasil mencuri hatinya, hanya saja ia tak tahu di mana gadis itu kini. Dan ia juga tidak pernah mengungkapkan isi hatinya. Karena itu pertemuan pertamanya, dan tak pernah bertemu lagi setelahnya.
“Bagaimana nak? Apa kau setuju?”
Ahmad terkejut, namun ia kembali hanya diam. Ia tidak bisa menjawab. Tertunduk beku.
“Apa kamu sudah punya pilihan?” tanya Pak Budi menyelidiki.
Ahmad hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia berkata,
“Papa sendiri tahu bahwa selama ini Ahmad tidak berani berpacaran karena Ahmad ingin sukses meniti karir dulu. Tapi, jika ini menurut Bapak baik untuk keluarga, baik untuk Ahmad ke depannya, Ahmad setuju pa.”
“Tidak ada seorang bapak yang ingin mencelakakan anaknya, Ahmad. Kecuali orang tua yang berhati binatang. Bahkan mungkin lebih rendah dari binatang. Banyak contoh kasusnya di televisi. Ada seorang Bapak yang tega menjual anaknya, membunuh, memperkosa, dan ada yang tega melindas kaki anaknya di rel kereta api. Nah, tentu papa begini juga karena masa depanmu. Baiklah, karena Papa sama Mamamu telah setuju dan Papa rasa kau pun menyetujui, berarti lusa kita akan pergi ke rumah Pak Anton untuk melamar.”
“Ah? Secepat itu pa?” Ahmad terkejut mendengar penjelasan Pak Budi.
“Lebih cepat lebih baik” jawab Pak Budi.
“Ah, Papa kayak JK aja, he,he,he.”
Mereka lalu tertawa.
***
Dua hari setelah kepergian Pak Anto ke rumah sahabat lamanya, yaitu Pak Budi. Kini Pak Anto, Bu Ani, dan putri mereka Erni telah duduk di ruang tamu. Mereka menanti kedatangan keluarga Pak Budi. Tampak kegelisahan yang terpancar dari wajah cantik Erni. Mungkin ia belum siap melihat calon pendamping hidupnya. Namun ia berusaha menenangkan diri. Ia mngambil majalah yang ada di bawah meja kaca ruang tamu. Lalu membacanya. Membuka lembar demi lembar. Namun belum bisa menepis ketegangan hatinya.
“Namanya siapa pa?” tanya Erni di sela-sela membaca majalah pada Bapaknya yang sedari tadi sesekali melihat jam di pergelangan tangannya.
Sambil tersenyum Pak Anto menjawab,
“Namanya Ahmad!”
“Hah? Ahmad? Seperti apa orangnya? Mungkinkah ia sama dengan pria yang ku damba tempo hari? Kenapa Ahmad sih? Kenapa bukan kau Heru yang datang melamarku? Ah, sudahlah mungkin Heru bukan jodohku!” Erni menggumam dalam hati.
Erni kembali terbayang pertemuannya tempo hari dengan Heru. Ia tersenyum sendiri. Namun lamunannya buyar seiring terdengar deru suara mobil memasuki gerbang rumahnya. Sebuah mobil Xenia berwarna biru. Tidak salah, itulah mobil Pak Budi dan keluarganya.
Pak Anto dan Bu Eni menyambut dengan hangat calon besan mereka. Mempersilakannya masuk.
Kini sofa leter L itu di isi oleh tujuh orang. Pak Anto dan istrinya, Pak Budi, istri dan anaknya, Ahmad. Serta dua orang saksi atas pertunangan itu.
“Loh, Erninya kemana?” tanya Pak Budi setelah pandangannya mencari-cari sosok Erni namun tidak ia temukan.
“Oh, tadi ada. Mungkin dia masuk ke kamarnya.” Jawab Pak Anto.

Siang itu terjadilah acara pertunangan antara Ahmad dan Erni. Kebahagiaan kembali menyelimuti kediaman Pak Anto. Alangkah bahagianya Erni setelah ia tahu bahwa ternyata calon pendamping hidupnya adalah Heru. Ya, ternyata ia bernama lengkap Ahmad Heru. Begitu juga Heru ia sangat bahagia atas pertunangan itu. Orang yang ia damba kini telah menjadi miliknya. Impiannya tergapai. Seminggu kemudian mereka menikah dan pergi berbulan madu ke suatu tempat, yaitu Pantai Pasir Putih yang terletak di pantai utara pulau Kalimantan Barat.
***

Cahaya bulan gemerlap terpancar di permukaan pantai. Hamparan pasir sedikit terlihat kelap-kelip terkena sinarnya. Di sanalah Heru dan Erni duduk berdua. Menikmati deru ombak yang menyapa pelan. Erni bersandar pada dada Heru. Romantis terasa. Indah tak terlukiskan kata.

“Cinta,” bisik Heru pelan pada Erni yang terdiam di pelukannya.
“Iya cinta, ada apa?”
“Lihatlah langit” pinta Heru sambil menunjuk pada satu titik di langit.
Erni mendongakkan kepalanya, mengikuti arah yang Heru tunjukkan. Menatap kosong. Diam. Mungkin ia bertanya-tanya dalam hati. Lama ia menatap kosong. Karena tak menemukan jawaban atas apa yang ia lihat, ia menatap mata Heru sayup. Sorotan matanya mengisyaratkan ia tak mengerti dengan apa yang Heru maksudkan. Heru bisa mengerti itu. Lalu ia berkata padanya,
“Lihatlah langit,” Heru mengulangi lagi permintaannya.
“Betapa indahnya ciptaanNya. Bulan, bintang, bersatu menghiasi malam,” lanjutnya,
“Tapi tahukah kau cinta, masih banyak lagi ciptaanNya yang lebih indah. Seperti kau yang kini ada di pelukanku. Kau yang bersemayam di hatiku. Jauh lebih indah ku rasa”
Erni hanya tersenyum, lalu berkata,
“Gombal!”
Lalu mereka tertawa lirih bersama. “he,he.”

Malam kian larut. Namun semakin indah. Bulan semakin terang tersenyum di antara awan yang berlalu. Bintang-bintang juga masih terlihat tersenyum. Mereka semakin hanyut menikmati tanda-tanda kebesaranNya. Angin pantai berhembus, sedikit menggerakkan rambut Erni yang panjang hitam terurai. Heru merebahkan badannya ke hamparan pasir. Beberapa saat kemudian Erni mengikuti. Ia kembali menempatkan sandaran kepalanya di dada Heru. Keindahan tercipta. Kehangatan mereka rasa. Malam itu mereka mencoba menghitung bintang. Hal yang mustahil memang. Tapi itulah cinta, hal mustahil akan tersulap hingga terlihat menjadi hal yang nyata.

Mereka berlibur selama satu minggu di pantai itu. Di setiap waktu yang mereka lalui berdua tidak pernah lepas dari aura kebahagiaan, keceriaan, kesenangan, kemesraan, dan canda tawa.Tidak lupa pula mereka selalu berdoa untuk pernikahan mereka ini, supaya dikaruniai seorang anak yang berbakti dan berguna untuk agama dan negara. Benih cinta dua sejoli ini memang telah berbunga. Mewangi ke penjuru dunia. Membius semua jiwa. Bunga cinta yang selalu menghembuskan kebahagiaan semata. Kekal selamaya, hingga akhir hayat mereka. ***

Rabu, 09 Desember 2009

MAHASISWA KETAPANG RIBUT

MAHASISWA Basinda Kelas Ketapang selalu ribut ketika berada di dalam kelas. Keributan yang ditimbulkan oleh suara-suara mahasiswa ramai terdengar hingga ke luar ruangan. Gaduh, mengalahkan keramaian pasar. Terkadang suara jeritan, suara tawa, suara teriakan, hingga obrolan-obrolan yang sifatnya tidak jelas. Menurut pengamatan penulis di TKP (tempat kejadian perkara), yakni di dalam kelas, keramaian ini terbentuk oleh kelompok-kelompok kecil dalam kelas, yang terdiri dari 2-5 orang mahasiswa, bahkan terkadang setengah dari keseluruhan mahasiswa bersatu “menciptakan” keributan.
Keributan ini kerap terjadi saat dosen belum memasuki ruang kelas. Jika keributan ini terjadi hanya sesekali, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi, yang kerap terjadi adalah, Mahasiswa Basinda Kelas Ketapang selalu saja ribut jika situasi yang sama mereka temui, yaitu situasi saat dosen belum memasuki ruangan.
Menurut ketua kelas Rudian Setiawan, Sabtu (5/11) kemarin saat dikonfirmasi mengenai hal ini, membenarkan kejadian ini, namun ia juga mengatakan sudah sering menegur rekan-rekannya yang kerap membuat keributan.
“Mereka itu jika ditegur memang akan diam. Tapi, lima menit kemudian, mereka akan ribut kembali,” kata Rudian Setiawan menambahkan.
Memang perlu kesadaran yang tinggi dari diri masing-masing mahasiswa. Jika mengandalkan teguran-teguran yang sifatnya hanya menghasilkan kesadaran sesaat, tentu tidak akan menjadikan mahasiswa sadar akan ketenangan, sadar akan waktu, dan tersadar kemudian terdorong untuk mengisinya dengan hal-hal yang fositif.
Semoga Mahasiswa Basinda Kelas Ketapang bisa memberikan contoh yang baik, sehingga dapat menjadi panutan mahasiswa yang lain di kemudian hari. (the_yadHy)