Senin, 25 April 2011

Novel Endensor karya Andrea Hirata


Edensor

Resensi

“Semuanya telah kami rasakan, dalam kemenangan manis yang gilang gemilang dan kekalahan getir yang paling memalukan, tapi selangkah pun kami tak mundur, tak pernah. Kami jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan bangkit lagi” (hal 280).
Ketika negeri ini tengah dilanda berbagai persoalan kebangsaan yang pelik, hadirlah sebuah novel yang menggugah, yaitu Edensor, sebuah novel petualangan yang mengajarkan semangat hidup. Edensor merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Edensor dalam penulisannya dibagi dalam lima mozaik, di mana setiap mozaiknya memuat cerita yang berbeda-beda. Namun secara umum Edensor banyak bercerita tentang masa-masa SMA Ikal dan Arai, aktivitas setelah mereka lulus dari SMA, aktivitas saat mereka kuliah di Prancis, dan pengalaman petualangan mereka menaklukkan benua Eropa dan sebagian Afrika.
Ikal dan Arai adalah dua saudara tidak sekandung. Arai diasuh oleh keluarga Ikal karena ibu bapaknya meninggal. Keduanya menjadi saudara yang kompak, konyol, dan nakal, namun cerdas. Keduanya selalu bersama baik ketika masih SMA maupun setelah mereka bekerja di Jakarta. Saat kuliah keduanya berpisah. Ikal di Jakarta dan Arai di Kalimantan. Keduanya bertemu kembali ketika tes beasiswa di Jakarta dan akhirnya bersama-sama berangkat kuliah di luar negeri.
Mozaik pertama bercerita tentang awal kelahiran Ikal. Konon saat melahirkan Ikal, sang ibu sengaja mengulur-ulur waktu walaupun sakit sudah dirasakan. Bahkan ibunya sampai membentak dukun beranak Mak Birah: “Coba kau tengok baik-baik jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya lewat angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir tanggal 24 Oktober! Tidakkah kau dengar maklumat di radio?! 24 Oktober adalah hari berdirinya perserikatan bangsa-bangsa, PBB! Hari yang penting. Aku ingin anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!” (hal 16).
Mozaik kedua berisi tentang keberangkatan Ikal dan Arai ke Prancis dan kerepotan mereka mencari asrama mahasiswa serta kekonyolan mereka “mengerjai” petugas penghubung antara mahasiswa dari seluruh dunia yang belajar di Prancis dengan Universitas Sorbonne. Petugas itu disuruh mengucapkan namanya sendiri berulang-ulang. Tujuannya hanya satu, yaitu agar Ikal dan Arai dapat mendengar sengau orang Prancis. Maurent Le Blanch menjadi Morong LeBlang (hal 80-84). Ternyata sengau dapat menjadi identitas seseorang.
Mozaik ketiga berkisah tentang aktivitas kuliah dan kehidupan Ikal dan Arai di Prancis, tentang pergulatan Ikal dengan teori-teori ekonomi, dan tentang “teman dalam cinta” Ikal bersama Katya. “Kami menikmati daya tarik turning a friend into a lover, mengubah teman menjadi kekasih, ternyata proses itu menyenangkan” (hal 127).
Mozaik keempat bercerita tentang petualangan Ikal dan Arai dalam menaklukkan benua Eropa-Afrika. Petualangan mereka diawali dengan cerita Ikal dan Arai yang terdampar di sebuah desa Rusia. Sebagai orang yang sedari kecil telah lekat dengan kesusahan dan kehidupan yang keras, tampaknya kesulitan dalam perjalanan menaklukkan Eropa dan Afrika justru dianggap sebagai pengalaman yang tidak terlupakan. “Di Syzran nasib yang paling sial menghadang. Kami ditangkap polisi karena dianggap mengganggu. Inspektur yang mulutnya berbau Vodka itu marah. Ia menghantam perutku dengan popor Kalashnikov. Arai melompat ingin melindungiku, kopral menghantam tengkuknya dengan gagang pistol Glock. Ia tersungkur, wajahnya menabrak kaki meja” (hal 198-199). Perjuangan keduanya mengarungi Eropa sangat heroik dan dramatis. Tanpa peta, kompas, dan uang sepeser pun mereka rela makan buah plum mentah serta daunnya, atau melamar menjadi pemetik zaitun.
Mozaik kelima berkisah tentang akhir dari petualangan Ikal dan Arai menaklukkan Eropa-Afrika. Ternyata petualangan keduanya merupakan pertandingan yang telah disepakati sebelumnya dengan teman-teman mereka. Semua peserta akan bertemu di Spanyol. Namun, sebelum ke Spanyol, Ikal dan Arai sempat singgah di Sisilia, Tunisia, dan Zaire. “Aku dan Arai telah menunggu lebih dari setengah jam di Kafe Nou CamP, bersebelahan dengan official store Barcelona Football Club” (hal 270).
Edensor adalah novel yang sangat inspiratif. Anak Indonesia yang suka berpetualang dan mempunyai mimpi berkeliling dunia, dianjurkan untuk membaca novel ini. Bahasanya mengalir dan mudah untuk dipahami. Ceritanya tidak membosankan. Pembaca akan cepat-cepat menyelesaikan membaca novel ini untuk kemudian berpindah ke novel berikutnya.
Yusuf Efendi
Sumber: MelayuOnline.com

Novel Endon

Tidak ada komentar: